Sikap syajā’ah dalam kehidupan, tentu amatlah banyak, apalagi jika dikaitkan dengan ikhtiar memenangkan percaturan hidup muslim di tengah gempuran tantangan dan cobaan dunia yang berat sebelah menyudutkan Islam. Penerapan syajā’ah itu bisa bermacam-macam, sesuai dengan profesi masing-masing. Hanya yang menjadi kesadaran bersama, setiap muslim harus terus memompa semangatnya, jangan kendor, apalagi melemah. Hal yang terakhir ini, jika terjadi tentu tidak menambah optimisme kebangkitan Islam yang sudah dicanangkan Umat Islam di abad ke-15 Hijriyah sekarang ini. Berikut ini, penerapan syajā’ah dalam kehidupan, antara lain sebagai berikut:Pertama, memiliki daya tahan yang besar. Seseorang bermental berani, jika memiliki daya tahan yang besar dalam menghadapi kesulitan, penderitaan, bahaya, dan mungkin saja penyiksaan, karena ia berada di jalan Allah Swt. Islam banyak memberi teladan terkait dengan syajā’ah, antara lain: Kisah perjuangan Nabi Muhammad Saw., dan para sahabatnya, baik pada periode Mekah maupun Madinah yang kesemuanya menggambarkan sikap syajā’ah. Perhatikan bagaimana mereka terus bertahan dalam suasana tekanan yang luar biasa dari kaum Quraisy. Hingga sebagian mereka gugur syahid--seperti Sumayyah dan Yasir, sebagiannya lagi mengalami penyiksaan--seperti Bilal dan Amar bin Yasir, dan sebagian dari mereka harus rela berhijrah meninggalkan tanah airnya menuju Habasyah (Etiophia/Afrika) demi mempertahankan iman.
Kedua, berterus terang dalam menyampaikan kebenaran.
Sabda Nabi Saw.:
Artinya: “Katakan kebenaran itu, meskipun terasa pahit” (HR. Imam Baihaqi dalam Syu’abul Iman, No. 4737) Berkata terus terang dan konsisten menyuarakan kebenaran merupakan indikasi seseorang itu bersikap berani. Apalagi dilakukan di depan penguasa yang zalim. Tentu memiliki resiko yang besar, boleh jadi nyawa yang menjadi taruhannya. Meski, harus kita pahami bahwa
menyuarakan kebenaran harus tetap dilandasi kesantunan, kesopanan, dan memperhitungkan kemajemukan di berbagai bidang. Nabi Musa a.s. memberi teladan kepada kita, saat beliau berhadapan dengan Firaun yang sudah melewati batas, beliau menggunakan tutur kata yang santun, sopan, dan enak didengar, serta memperhatikan betul siapa yang dihadapi, meski pada akhirnya belum
berhasil mencapai sasaran. Tidak sedikit, kita melihat orang yang berdusta atau diam karena khawatir akan resiko-resikonya. Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat. Atau memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal, sangat mungkin penguasa itu akan mendapatkan hidayah, bila ada
yang menyampaikan kebenaran, tanpa rasa takut kepadanya.
Ketiga, memegang rahasia.
Kerahasiaan--terlebih lagi dalam konteks perjuangan--adalah sesuatu yang berat dan besar resiko dan akibatnya. Terbongkarnya rahasia, dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, kesiapan memegang rahasia menjadi indikasi syaja’ah seorang muslim dalam medan perjuangan. Ambil contoh, di zaman Rasulullah Saw. tidak banyak sahabat yang diberi amanah memegang rahasia. Keempat, mengakui kesalahan. Mengakui kesalahan menjadi ciri pribadi pemberani. Sebaliknya, sikap tidak mau mengakui kesalahan, mencari kambing hitam atau bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”, adalah ciri pribadi yang pengecut. Tidak mudah mengakui kesalahan. Terkadang tumbuh rasa malu, khawatir dikucilkan, bahkan cemas dipandang sinis oleh pihak lain, meski mengakui kesalahan, itu sangat menguntung.
Misalnya, ibrah yang diperankan oleh Nabi Adam a.s. saat berada di surga, agar tidak ‘mendekati pohon itu’, lalu nafsu buruk dan setan bersekongkol menggoda keduanya (Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa), akibatnya keduanya tergelincir, dan berbuat dosa, namun tidak dilimpahkan kesalahan itu pada setan yang menggodanya, tetapi diakui kesalahan itu akibat kesalahannya sendiri dan bertobat dengan
sungguh-sungguh, akhirnya Allah Swt. membuka pintu ampunan kepada keduanya. Allah Swt. berfrman:
Artinya : Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. al-A’rāf/7: 23)
Kelima, bersikap objektif kepada diri sendiri.
Jika lihat dengan seksama, orang-orang yang ada di sekitar kita, ada saja orang yang cenderung over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni, dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya, ada juga yang bersikap under estimasi terhadap dirinya, yakni menganggap dirinya bodoh,tidak mampu berbuat apa-apa, dan tidak memiliki kelebihan apa pun.
Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap objektif terhadap dirinya, bahwa msetiap diri memiliki sisi baik dan buruk; kelebihan dan kekurangan.
Sikap seperti ini membuka kesempatan pihak lain berperan untuk saling melengkapi dan menutupi, bahkan membutuhkan keberadaan orang lain. Di sisi lain, ia pun tidak meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih banyak dan berkontribusi secara optimal dengan potensi yang dimilikinya. Orang sekaliber Abu Bakar Shiddiq r.a. saat diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak rakyatnya: “Wahai manusia, aku dipilih sebagai pemimpin kalian, dan aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, ikutilah aku. Jika berbuat buruk, luruskanlah aku.”
Keenam, menguasai diri saat marah.
Pemberani itu jika seseorang mampu bermujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah, menekan beragam keinginan, meski ia memiliki kemampuan. Tetap mengendalikan diri, di tengah gempuran keinginan. Orang seperti inilah yang bisa dipandang sebagai pemberani, karena kemampuannya menahan diri dan mengendalikan emosi. Amarah itu menggelincirkan manusia pada sikap serampangan, ceroboh dan kehilangan kontrol diri. Oleh karena itu, Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari amarah. Sampaisampai Rasulullah Saw. mengajarkan untuk tidak marah berulangulang. Bila masih muncul perasaan itu, maka ubahlah posisi dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar, maka pergilah dan ambillah wudhu. Karena rasa marah itu bersal dari setan. Setan diciptakan dari api, dan api bisa padam, jika disiram dengan air. Rasululullah Saw., bersabda: “Apakah yang kamu sebut dengan orang perkasa (jagoan).” Jawab kami: “Orang yang dengan
(mudah) merobohkan lawannya.” Sabda beliau: “Bukan itu seorang yang perkasa, tetapi seorang yang mampu menguasai dirinya saat marah (H.R. Muslim)