This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 24 September 2021

Hikmah Perilaku Jujur dan Syajaah (Berani) Jujur

 


Hkmah Jujur
Beberapa hikmah yang dapat dipetik dari perilaku jujur, antara lain sebagai berikut.
1. Perasaan enak dan hati tenang, jujur akan membuat kita menjadi tenang, tidak takut akan diketahui kebohongannya karena emang tidak berbohong. 
2. Mendapatkan kemudahan dalam hidupnya.
3. Selamat dari azab dan bahaya.
4. Dijamin masuk surga. 
5. Dicintai oleh Allah Swt. dan rasul-Nya

Hikmah Syajā’ah
Islam sangat menekankan sifat syajā’ah agar dimiliki setiap muslim, sebab maslahatnya bukan hanya untuk yang bersangkutan, namun melebar kepada masyarakat sekitar, bahkan untuk bangsa dan negara. Ingat jargon yang sering kita lihat, yakni Berani Jujur! Jargon ini sangat bermanfaat bagi bangsa Indonesia, karena ingin membangkitkan jiwa terpendam setiap orang untuk berani jujur, berani menyuarakan kebenaran, dan berani karena benar. Syajā’ah juga akan memunculkan banyak hikmah antara lain dalam bentuk sifat-sifat mulia, yakni cepat, tanggap, perkasa, memaafkan, tangguh, menahan amarah, tenang, dan mencintai. Tetapi jika seseorang itu terlalu dominan beraninya, tidak dikontrol dengan kecerdasan dan keikhlasan, akan memunculkan sifat ceroboh, takabur, meremehkan orang lain, dan ujub. Sebaliknya, jika seorang mukmin kurang syajā’ah, maka akan dapat memunculkan sifat rendah diri, cemas, kecewa, dan kecil hati.

Perilaku Cerminan Iman Kepada Qada dan Qadar

 


Beberapa contoh perilaku yang mencerminkan iman kepada Qada dan Qadar, antara lain sebagai berikut.
a. Yakin terhadap Qada dan Qadar dari Allah karena pada hakikatnya Qada dan Qadar tersebut sangat logis (masuk akal). Apabila kita sulit memahaminya, hal tersebut berarti bahwa kita sendiri yang belum
memiliki pemahaman secara menyeluruh mengenai hal tersebut. 
b. Pemahaman yang menyeluruh mengenai Qada dan Qadar akan melahirkan pribadi yang mau bekerja keras dalam meraih sesuatu.
c. Allah tidak akan menyalahi hukum-Nya (sunnatullah) sehingga manusia harus yakin akan kekuasaan Nya atas hidup dan kehidupan manusia.
d. Kita tidak boleh sombong apabila kita berhasil meraih sesuatu karena semua itu tidak semata-mata atas usaha kita sendiri.
e. Tidak boleh putus asa karena senantiasa husnuzan pada keadilan Allah.
f. Mampu menyusun strategi, khususnya, dalam hal pekerjaan sehingga hasilnya efektif dun efisien.
g. Bersyukur apabila memperoleh rezeki apa pun bentuknya dan senantiasa bersabar apabila mendapatkan ujian atau musibah.

Setelah kita mampu memahami akan Qada dan Qadar yang merupakan salah satu sendi keimanan umat Islam, kita dapat mengambil beberapa hikmah di antaranya sebagai berikut.
a. Allah telah menggariskan hukum-Nya dalam Qada dan Qadar. Dengan pemahaman yang benar, kita mampu menjadi pribadi yang optimistis dengan melakukan doa dan ikhtiar serta tawakal.
b. Dengan memahami Qada dan Qadar, kita tidak akan memiliki prasangka buruk, baik kepada Allah maupun kepada makhluk-Nya.
c. Kita bisa menyadari bahwa Allah telah membekali manusia dengan berbagai perangkat untuk kehidupannya. Jika kita mampu menggunakannya dengan baik, tentu hasil yang optimal dapat kita
raih selama hidup di dunia ini.
d. Kita menyadari bahwa manusia diciptakan berbeda-beda dan tentu memiliki hikmah tersendiri, di antaranya, untuk saling mengenal dan bekerja sama.
e. Dengan memahami Qada dan Qadar, kita dapat menyadari bahwa segala yang diciptakan dan yang terjadi di dunia ini tidak pernah luput dari kekuasaan Allah Swt. Oleh karena itu, manusia tidak pantas untuk berperilaku sombong.
f. Manusia berhak memilih untuk melakukan sesuatu. Dengan kesadaran itu, konsekuensi yang akan diterima di akhirat kelak, yang berupa ganjaran surga dan neraka, menjadi keniscayaan bagi setiap
manusia.
g. Keberhasilan atau kesuksesan bukan sebuah khayalan karena jika kita mau berusaha, Allah pasti akan membuka jalan-Nya.
h. Mampu membedakan antara jalan yang baik dan yang buruk karena masing-masing memiliki akibat atau konsekuensinya.
i. Menjadi pribadi yang tidak pernah berputus asa dan lupa diri apabila menghadapi sesuatu, baik kesenangan maupun kesedihan.
j. Allah tidak pernah menjadikan sesuatu dengan sia-sia. Oleh karena itu, manusia tinggal mempergunakan karunia tersebut dengan sebaik-baiknya.

Rabu, 22 September 2021

Fungsi Iman kepada Qada dan Qadar dalam kehidupan Sehari- hari

 



Islam itu ajaran yang tinggi (mulia), bersifat universal, sangat sesuai dengan fitrah, suci, indah, sempurna, dan tidak ada ajaran lain yang mampu menandinginya. Salah satu pokok ajarannya ialah keimanan pada
Qada dan Qadar. Setiap muslim dan muslimah wajib beriman bahwa ada Qada dan Qadar Allah yang berlaku untuk seluruh makhluk-Nya, baik takdir yang menguntungkan dirinya atau sesuai keinginannya maupun sebaliknya. Apa pun kenyataannya, kita harus yakin bahwa di balik setiap takdir yang terjadi pasti mengandung hikmah bagi manusia.

Di antara fungsi beriman pada Qada dan Qadar dalam kehidupan
sehari-hari adalah sebagai berikut:
1. Mendorong Kemajuan dan Kemakmuran Pada dasarnya segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah
Swt. sudah diberi ukuran, takaran, sifat, dan undang-undang. Panas matahari tidak mampu membuat air mendidih, tetapi ia sangat berguna bagi kesehatan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan, selain
sebagai alat penerang yang mengalahkan cahaya bulan dan lampu. Bumi, langit, dan isinya diciptakan untuk manusia sebagai khalifah. Dengan iman kepada takdir, hendaknya manusia dapat menyelidiki
dan mempelajari alam sehingga mampu memanfaatkannya. Bagaimana mungkin manusia dapat memanfaatkan alam jika tidak mengetahui sifat, ukuran, sebab- akibat, atau sunatullah? Bagaimana cara memanfaatkan sinar matahari, air terjun, racun, udara, gas, angin, bulu domba, bisa ular, dan lain sebagainya? Dengan mengimani takdir, maka manusia dapat mempelajari suatu hukum yang pasti sehingga menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kehidupan manusia.

2. Menghindari Sifat Sombong
Dengan beriman kepada takdir, seseorang yang memperoleh  sukses besar, meraih jabatan yang tinggi, menjadi penguasa, atau memiliki harta berlimpah, ia tidak akan merasa sombong. Sebaliknya, ia menjadi semakin rendah hati karena menyadari bahwa sukses yang diperoleh bukan semata-mata hasil usahanya sendiri, kecuali sudah menjadi ketetapan Allah. Tanpa pertolongan dan ketetapan Allah seseorang tidak akan mampu memperoleh kesuksesan itu sehingga ketika mendapatkannya, ia justru menjadi tawadlu atau rendah hati menyadari akan kemudahan dan keagungan Allah swt. Firman Allah
swt Artinya: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah datangnya dan bila kamu ditimpa kemudaratan, maka hanya kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.» (Q.S. an-Nahl/ 16: 53)
3. Melatih Berhusnuzan (baik sangka)
Iman kepada takdir mendidik manusia untuk berbaik sangka pada ketetapan Allah karena apa yang kita inginkan belum tentu berakibat baik, demikian pula sebaliknya.
4. Melatih Kesabaran
Seorang yang beriman kepada Qada dan Qadar akan tetap tabah, sabar, dan tidak mengenal putus asa pada saat mengalami kegagalan karena menyadari bahwa semua kejadian sudah ditetapkan oleh Allah. Akan tetapi, bagi orang yang tidak beriman kepada takdir, kegagalan mengakibatkan stres, putus asa, dan kegoncangan jiwa.
Firman Allah swt.

“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmatAllah, sesungguhnya tidak putus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafr.» (Q.S. Yusuf/12: 87)
5. Terhindar dari Sifat Ragu dan Penakut
Iman padaQada danQadar akan menumbuhkan sifat pemberani.  Semangat dan jiwa seseorang akan bangkit karena ia tidak memiliki keraguan atau gentar sedikit pun untuk maju. Orang yang beriman itu
meyakini bahwa apa pun yang bakal terjadi tidak akan menyimpang dari ketentuan atau takdir Allah. Sejarah Islam telah mencatat bahwa Khalid bin Walid pada setiap peperangan tampil gagah berani tanpa rasa takut sedikit pun. Akan tetapi, Allah tidak menetapkan bahwa ia wafat di medan perang. Ia senantiasa diselamatkan nyawanya dan selalu dilindungi oleh Allah sehingga ia dapat hidup hingga usia tua. Khalid bin Walid wafat di atas pembaringan meskipun terdapat lebih
dari 500 bekas luka dalam peperangan.


Hubungan Takdir, ikhtiar doa dan tawakkal

 



Gambar Ilustrasi 

Beriman kepada takdir selalu terkait dengan empat (4) hal yang selalu berhubungan dan tidak terpisahkan. Keempat hal itu adalah sikap optimis terhadap takdir terbaik Allah Swt., berikhtiar, berdo’a, dan tawakal.
1. Sikap Optimis akan Takdir Terbaik Allah Swt.
Mengapa manusia tidak mampu terbang laksana burung, tumbuh-tumbuhan berkembang subur, lalu layu, dan kering. Rumput-rumput subur bila selalu disiram dan sebaliknya bila dibiarkan tanpa pemeliharaan akan mati. Semua contoh tersebut adalah ketentuan Allah Swt. dan itulah yang disebut Takdir.
Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan Allah Swt. kepadanya. Di samping itu, manusia berada di bawah hukum-hukum tersebut (Qauliyah dan Kauniyah). Hanya berbeda
dengan makhluk selain manusia, misalnya matahari, bulan, dan planet lainnya, seluruhnya ditetapkan takdirnya tanpa dapat ditawar-tawar. (Q.S. Fussilat/41:11)

Manusia makhluk yang paling sempurna. Oleh karena itu, ia diberi kemampuan memilih bahkan pilihannya cukup banyak. Manusia dapat memilih ketentuan (takdir) Allah Swt. yang ditetapkan keberhasilan atau kemalangan, kebahagiaan atau kesengsaraan, menjadi orang yang baik atau tidak. (Q.S. al-Kahf/18:29). Namun, harus diingat bahwa setiap pilihan yang diambil manusia, pada saatnya akan diminta pertanggungjawaban terhadap pilihannya, karena dilakukan atas kesadaran sendiri. Firman Allah Swt.: “Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang mensucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang
mengotorinya” (Q.S. asy-Syams/91:8-10).

"Apakah manusia mengira dibiarkan tanpa pertanggungjawaban?” (Q.S. AlQiyamah/75:36). Beberapa perumpamaan peristiwa ini akan dapat memudahkan dalam memahami persoalan takdir.

2. Ikhtiar
Ikhtiar adalah berusaha dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati dalam menggapai cita-cita dan tujuan. Allah Swt. menentukan takdir, kita sebagai manusia berkewajiban melakukan ikhtiar. Jika Allah Swt. telah menentukan, mengapa ada ikhtiar? Perhatikan Firman Allah Swt. dalam Q.S. al-Anbiyaa’/21:90 yang artinya: ”Sungguh mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik”. Kemudian, dalam Q.S. alMukminuun/23:60, Allah Swt. Berfrman: ”Mereka itu bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya”.
Dari beberapa ayat di atas, Allah Swt. mendorong manusia untuk berusaha, berlomba, dan berkompetisi menjadi orang yang tercepat. Siapa pun yang berusaha dengan sungguh-sungguh, berarti dia sedang menuju keberhasilan. Pepatah Arab mengatakan “Man jadda wajada”, Artinya:“Siapa pun orangnya
yang bersungguh-sungguh akan memperoleh keberhasilan”.

Rasulullah saw. bersabda: ”Bersegeralah melakukan aktivitas kebajikan sebelum dihadapkan pada tujuh penghalang. Akankah kalian menunggu kekafran yang menyisihkan, kekayaan yang melupakan, penyakit yang menggerogoti, penuaan yang melemahkan, kematian yang pasti, ataukah Dajjal, kejahatan terburuk yang pasti datang, atau bahkan kiamat yang sangat amat dahsyat?”(HR. atTirmidzi)

Jika sudah diikhtiarkan namun kegagalan yang diperoleh, maka dalam hubungan inilah letak “rahasia Ilahi.” Meskipun begitu, Allah Swt. tidak menyia-nyiakan semua amal yang sudah dilakukan, walaupun gagal. Firman Allah Swt.: “ Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya), kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna”. (Q.S. an-Najm/53:39-41).

Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah mengapa Allah Swt. mewajibkan manusia berikhtiar. Walaupun sudah ditentukan Qada' dan qadarnya, di pundak manusialah kunci keberhasilan dan keberuntungan hidupnya. Di samping itu, begitu banyak anugerah yang telah Allah Swt. berikan kepada manusia berupa naluri, panca indera, akal, kalbu, dan aturan agama, sehingga lengkaplah sudah bekal yang dimiliki manusia menuju kebahagiaan hidup yang diinginkan.
3 Doa
Doa adalah ikhtiar batin yang besar pengaruhnya bagi manusia yang meyakininya. Hal ini karena doa merupakan bagian dari motivasi intrinsik. Bagi yang meyakini, doa akan memberikan energi dalam menjalani ikhtiarnya, karena Allah Swt. telah berjanji untuk mengabulkan permohonan orang
yang bersungguh-sungguh memohon. Firman Allah Swt.: “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa, apabila ia berdoa kepada-Ku, ...” (Q.S. alBaqarah/2:186).
4. Tawakal
Setelah meyakini dan mengimani takdir, kemudian dibarengi dengan ikhtiar dan do’a, maka tibalah manusia mengambil sikap tawakal. Tawakal adalah “menyerahkan segala urusan dan hasil ikhtiarnya hanya kepada Allah Swt.” Dasar pengertian tawakal diambil diantaranya dari sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja’far bin Amr bin Umayah dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakal ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ikatlah kemudian bertawakallah.”

Peristiwa ini menyimpulkan pemahaman bahwa sikap tawakal baru boleh dilakukan setelah usaha yang sungguh-sungguh sudah dijalankan. Hal ini juga memberikan pemahaman bahwa tawakal itu terkait erat dengan ikhtiar, atau dapat disimpulkan bahwa tidak ada tawakal tanpa ikhtiar. Firman Allah
Swt.: ”Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah Swt.. Sesungguhnya Allah Swt. menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.”(Q.S.Ali-Imran/3:159).

Senin, 20 September 2021

Petaka Orang Yang Bohong

 



عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ
صِدِّيقًا وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا


Artinya :
"Sesungguhnya kejujuran akan membimbing pada kebaikan, dan kebaikan itu akan membimbing ke surga, sesungguhnya jika seseorang yang senantiasa berlaku jujur hingga ia akan dicatat sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya kedustaan itu akan mengantarkan pada kejahatan, dan sesungguhnya kejahatan itu akan menggiring ke neraka. Dan sesungguhnya jika seseorang yang selalu berdusta sehingga akan dicatat baginya sebagai seorang pendusta."(HR. Bukhari No. 6094 Versi Fathul Bari) (Muslim No. 4719).



Sebagaimana telah dijelaskan di atas, betapa berartinya sebuah kejujuran karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa ke surga. Sebaliknya, betapa berbahayanya sebuah kebohongan. Kebohongan akan menghantarkan pelakunya tidak dipercaya lagi oleh orang lain. Ketika seseorang sudah berani menutupi kebenaran, bahkan menyelewengkan kebenaran untuk tujuan jahat, ia telah melakukan kebohongan. Kebohongan yang dilakukannya itu telah membawa kepada apa yang dikhianatinya. Dalam al-Qur'an mengingatkan kita agar tidak berkhianat:

وَمَن يَغۡلُلۡ يَأۡتِ بِمَا غَلَّ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٍ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ

Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya,
dan mereka tidak dizalimi.’’ (Q.S. Āli ‘Imrān/3: 161).
Dalam hadis Rasulullah saw. mengingatkan: Artinya: “Dari Abu Hurairah ra., dia berkata; Rasulullah saw., bersabda, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan, sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya, sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu, Ruwaibidhah berbicara.” Ada sahabat yang bertanya, “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas.” (HR. Ibnu Majah)

Syaikh Muhammad al-Ghazali mengatakan, bahwa menjaga amanah ialah menunaikan dengan baik terhadap hak-hak Allah Swt. dan hak-hak manusia tanpa terpengaruh oleh perubahan keadaan, baik susah maupun senang.

Landasan Syaja’ah untuk Kejujuran

 



Landasan kejujuran adalah keberanian mengungkap kebenaran. Orang jujur: ditandai dengan benar perkataannya, yakin akan apa yang diperbuatnya, serta memiliki tekad yang utuh untuk
mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sosok seperti itu bukan dimiliki manusia biasa, tetapi manusia sejati yang sudah makan garam kehidupan. Sosok yang teguh prinsipnya, dan tidak tergoyahkan hanya demi kepentingan sesaat dan keuntungan duniawi. Umat Islam sejatinya sudah memiliki
sosok tersebut, yakni yang diperankan oleh Nabi Muhammad Saw., tinggal kita ini mau meneladani atau tidak. Di samping itu, kejujuran menjadi landasan iman, sedang dusta menjadi bagian dari kemunakan. Abu Ubaidah meriwayatkan, saya mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Puasa adalah perisai, selama
yang bersangkutan tidak merusaknya.” Lalu ada yang bertanya, dengan apa ia dirusak? Rasulullah menjawab: dengan berbohong dan menggunjing.”

Jumat, 17 September 2021

Kaitan antara Takdir, Ikhtiar dan TawakkaL

 



Takdir, ikhtiar, dan tawakal adalah tiga hal yang sulit untuk dipisahpisahkan. Dengan kemahakuasaan-Nya, Allah menciptakan undang-undang, peraturan, dan hukum yang tidak dapat diubah oleh siapa pun.  
Sementara itu, manusia diberi kebebasan untuk memilih dan diberi hak untuk bekerja dan berusaha demi mewujudkan pilihannya. Akan tetapi, setiap manusia tidak dapat dan tidak dibenarkan memaksakan kehendak kepada Allah untuk mewujudkan keinginannya.  

Bertawakal bukan berarti bahwa seseorang hanya diam dan bertopang dagu tanpa bekerja. Orang yang sudah menentukan pilihan dan cita-citanya tanpa mau bekerja, hanya akan menjadi lamunan atau khayalan semata karena hal itu tidak akan pernah terlaksana. Firman Allah swt.

Qada' dan Qadar atau takdir berjalan menurut hukum “sunnatullah”. Artinya keberhasilan hidup seseorang sangat tergantung sejalan atau tidak dengan sunnatullah. Sunnatullah adalah hukum-hukum Allah Swt. yang disampaikan  untuk umat manusia melalui para Rasul, yang tercantum di dalam al-Qur'aberjalan tetap dan otomatis. Misalnya malas belajar berakibat bodoh, tidak mau bekerja akan miskin, menyentuh api merasakan panas, menanam benih akan tumbuh, dan lain-lain.
Kenyataan menunjukkan bahwa siapa pun orangnya tidak mampu mengetahui
takdirnya. Jangankan peristiwa masa depan, hari esok terjadi apa, tidak ada yang mampu mengetahuinya. Siapa pun yang berusaha dengan sungguh-sungguh sesuai hukum-hukum Allah Swt. disertai dengan do’a, ikhlas, dan tawakal kepada Allah Swt., dipastikan akan memperoleh keberhasilan dan mendapatkan cita-cita sesuai tujuan yang ditetapkan. 

Berkaitan dengan makna beriman kepada Qada' dan Qadar dapat diketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan Allah Swt. sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan tidak datang dengan sendirinya. Janganlah sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas berusaha dan berbuat kejahatan.

Dalam sebuah hadis yang panjang dan diriwayatkan oleh ImamBukhari dan Muslim dikisahkan bahwa ketika Khalifah Umar bin Khattabr.a. dan pasukannya akan masuk ke negeri Syam dan telah sampai di
perbatasan, ada yang menyampaikan laporan bahwa di negeri Syam tersebut tengah terjangkit penyakit menular. Khalifah Umar bin Khattab r.a. akhirnya memutuskan untuk membatalkan kepergiannya ke  negeri Syam dan kembali pulang ke Madinah. Abu Baidah berkata kepada
Khalifah, «Mengapa Anda lari dari takdir Allah?» Khalifah Umar bin Khattab r.a. menjawab, «Kami lari dari takdir untuk mengejar takdir pula.» Maksud dari pernyataan `lari dari takdir menuju takdir› itu adalah bahwa mereka memilih meninggalkan takdir yang buruk menuju pada takdir yang lebih baik. Manusia yang telah diberi ftrah dan pengetahuan untuk dapat membedakan baik dan buruk pasti akan senantiasa mampu menaati segala kebaikan dan menjauhi keburukan. 

Oleh karena itu, sebagai penghayatan terhadap keyakinan akan takdir, ikhtiar, dan tawakal, maka kewajiban kita memilih segala hal yang baik. Adapun ukuran mengenai baik dan buruknya adalah norma yang tercantum pada al-Qur’an dan hadis, senantiasa tekun, bersungguhsungguh dalam bekerja sesuai dengan kemampuan, bertawakal, berdoa, tidak sombong atau tidak lupa diri dan bersyukur apabila berhasil serta tidak berputus asa apabila belum berhasil.

Keterkaitan Syajā’ah dengan Kejujuran


 

a. Hubungan Syajā’ah dengan Kejujuran
Sifat syajā’ah sangat berkaitan dengan nilai kejujuran. Hal ini, berdasarkan uraian sebagai berikut, yaitu:
1) Konsisten menyuarakan kebenaran, meskipun di hadapan penguasa zalim. Itu hanya dilakukan oleh para pemberani. Sebaliknya, para pengecut hanya menyampaikan yang diinginkan oleh penguasa.
2) Setiap manusia pasti pernah bersalah. Itu artinya, dibutuhkan manusia pemberani yang lantang mengakui kesalahannya. Berani mengakui kesalahan, merupakan indikator sikap syaja’ah dan jujur. 
3) Selalu senang berbuat baik. Karena pada dasarnya setiap manusia akan senang, jika diperlakukan secara jujur, sebaliknya sangat marah dan benci, jika dibohongi atau dicurangi. (perhatikan isi dan kandungan Q.S. al-Muthafifīn/83: 1-3).

b. Faktor-faktor Seseorang Memiliki Syajā’ah
Berikut ini, faktor-faktor penyebab seseorang memiliki sikap syaja’ah.
1) Adanya perasaan takut hanya kepada Allah Swt., selama seseorang itu meyakini apa yang dilakukannya dalam rangka menjalankan perintah-Nya, maka tidak perlu takut kepada siapa pun, kecuali 
hanya kepada Allah Swt.
2) Saat kehidupan akhirat lebih dicintai dibanding dunia, karena kehidupan dunia bukanlah tujuan akhir seorang mukmin, dunia hanya sebagai tempat menanam kebaikan, dan mencari bekal hidup di akhirat. 
3) Adanya perasaan tidak takut mati. Setiap manusia tidak ada jaminan, bahwa ‘esok’ masih ada dan bernafas, sebab itu jangan menunda-nunda menjadi orang baik, yang tentunya kriteria baik itu, harus sejalan dengan tuntunan Allah Swt.
4) Tidak pernah ragu dengan kebenaran. Perasaan ragu harus dikikis dengan ilmu, karena ilmu itu menerangi, memudahkan jalan-jalan kesusksesan. Sebab itu, hilangkan sikap ragu, dan bersamaan
dengan itu, pertebal keyakinan agar tergolong menjadi manusia yang berani dan jujur.
5) Ketika tidak menomorsatukan kekuatan materi. Sebab, materi memang diperlukan dalam perjuangan, tetapi tidak segala-galanya, hanya Allah Swt. yang mampu menentukan segala sesuatu.
6) Terbiasa bertawakal, dan yakin adanya pertolongan Allah Swt. Membela kebenaran itu tidak mudah dan sukar, namun dengan ikhtiar yang maksimal, keberhasilan akan didapat. Istilahnya, kewajiban manusia hanya berikhtiar, Allah-lah yang menentukan berhasil tidaknya usaha manusia. Di sisi lain, perhatikan orangorang di sekitar Anda, hampir 99% keberhasilan itu didapat dari ikhtiar yang sungguh-sungguh, tekun, ulet, rajin, dan tentu tidak melupakan adanya
inayah Allah Swt.

Rabu, 15 September 2021

Macam-Macam Takdir & Kaitan antara Takdir, Ikhtiar dan Tawakkal





Mengenai hubungan antara Qada dan Qadar dengan ikhtiar, do’a dan tawakal ini, para ulama berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam seperti berikut.

a. Takdir Mua’llaq
Takdir Mua’llaq adalah takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Misalnya, seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk mencapai cita-citanya itu, ia belajar dengan tekun. Akhirnya, apa yang ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian. Dalam hal ini Allah Swt. berfrman: “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt. tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah Swt. menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya;
dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Q.S arRa’d/13:11)
b. Takdir Mubram
Takdir Mubram adalah takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan atau tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh manusia. Misalnya, ada orang yang dilahirkan dengan mata sipit, atau dilahirkan
dengan kulit hitam sedangkan ibu dan bapak kulit putih, dan sebagainya.


Kaitan antara Takdir, Ikhtiar dan Tawakkal
Takdir sebagaimana telah dijelaskan adalah takaran, ukuran, ketetapan, peraturan, undang-undang yang diciptakan Allah tertulis di Lauh Mahfuz sejak zaman azali dan berlaku bagi semua makhluk-Nya.

Takdir ada dua macam, yaitu ( 1) takdir mubram yang makhluk tidak  diberi peluang atau kesempatan untuk memilih dan mengubahnya, dan (2) takdir muallaq yang makhluk diberi peluang atau kesempatan untuk memilih dan mengubahnya. Ikhtiar adalah berusaha melakukan segala daya dan upaya untuk mencapai sesuatu sesuai dengan yang dikehendaki. Menurut bahasa Arab, ikhtiar berarti ‘memilih’. Dua pengertian yang berbeda itu tetap mempunyai hubungan yang erat dan merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai contoh, setiap orang mempunyai kebebasan memilih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada yang mencari nafkah dengan berdagang, bertani, berkarya di kantor, berwirausaha, dan lain sebagainya.

Tawakal diartikan dengan sikap pasrah dan menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Dalam bahasa Arab, tawakal berarti `mewakilkan’, yaitu mewakilkan kepada Allah untuk menentukan berhasil atau tidaknya suatu urusan. Ajaran tawakal ini menanamkan kesan bahwa manusia hanya memiliki hak dan berusaha, sedangkan ketentuan terakhir tetap di tangan Allah swt. sehingga apabila usahanya berhasil, ia tidak bersikap lupa diri, dan apabila mengalami kegagalan, ia tidak akan merasa putus asa. Pengertian seperti ini merupakan ajaran tawakal yang paling tepat.

Jumat, 10 September 2021

Macam-macam Syajā’ah

 





1) Syajā’ah harbiyah yaitu keberanian yang terkait dengan peperangan, misalnya keberanian dalam medan tempur di waktu perang. Hal ini terjadi jika di izinkan atau diberi perintah oleh pemimpin pada saat perang yang mana perang itu terjadi jika umat islam ditekan atau diperangi atau dalam keadaan darurat. Tidak boleh memerangi tanpa ada alasan dan perintah dari pemimpin.
2) 
Syajā’ah nafsiyah yaitu keberanian yang terkait dengan jiwa, misalnya saat menghadapi bahaya atau penderitaan dan menegakkan kebenaran. Misalnya berani hidup sederhana asal tidak melakukan kejahatan, daripada kaya tapi hasil korupsi, merampas hak orang lain. Bahkan berani dalam menegakkan kebenaran. Walaupun harus tertekan dan terasa pahit akan dampak menegakkan kebenaran tersebut. Contoh memberikan informasi saat menjadi saksi dalam melihat kejahatan/kriminal.

Munculnya sikap syajā’ah, tidak terlepas dari keadaan-keadaan sebagai berikut.
a) Berani membenarkan yang benar dan berani pula mengingatkan yang salah.
b) Berani membela hak milik, akal dan jiwa, serta kehormatan diri dan keluarga. 
c) Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa.

Melalui kedua macam syajā’ah tersebut, maka syaja’ah dapat diterapkan dalam beberapa bentuk, sebagai berikut: 
a) Memiliki daya tahan yang besar untuk menghadapi kesulitan, penderitaan dan mungkin saja bahaya dan penyiksaan, karena ia berada di jalan Allah Swt.
b) Berterus terang dan konsisten di jalan kebenaran, dan berani berkata benar di hadapan penguasa yang zalim.
c) Mampu menyimpan rahasia, bekerja dengan baik, cermat dan penuh perhitungan. Kemampuan merencanakan dan mengatur strategi, termasuk di dalamnya mampu menyimpan rahasia yang
merupakan bentuk dari keberanian yang bertanggung jawab.

Kewajiban Beriman kepada Qada' dan Qadar

 




Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah saw. didatangi oleh seorang laki-laki yang berpakaian serba putih, dan rambutnya sangat hitam. Lelaki itu bertanya tentang Islam, Iman dan Ihsan. Tentang keimanan, Rasulullah saw. menjawab yang artinya: “Hendaklah engkau beriman kepada Allah Swt. malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari akhir, dan beriman pula kepada Qadar (takdir) yang baik ataupun yang buruk”. (H.R. Muslim).
Lelaki itu adalah Malaikat Jibril yang sengaja datang untuk memberikan pelajaran agama kepada umat Nabi Muhammad saw. Jawaban Rasulullah saw. yang dibenarkan oleh Malaikat Jibril itu berisi rukun iman. Salah satu dari rukun iman itu adalah iman kepada Qada dan Qadar. Dengan demikian, mempercayai Qa«±' dan Qadar merupakan kewajiban. Kita harus yakin dengan sepenuh hati bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, baik yang menyenangkan maupun yang tidak adalah atas kehendak atau takdir Allah Swt. Sebagai orang beriman, kita harus rela menerima segala ketentuan Allah Swt. atas diri kita. Di dalam sebuah hadis qudsi Allah Swt. berfrman yang artinya: ”Siapa yang tidak ridha dengan Qada'-Ku dan Qadar-Ku dan tidak sabar terhadap rencana-Ku yang aku timpakan atasnya, maka hendaklah mencari Tuhan selain Aku”. (H.R. at-Tabrani).

Takdir Allah Swt. merupakan iradah (kehendak) Allah Swt. Oleh sebab itu, takdir tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Tatkala takdir sesuai dengan keinginan kita, hendaklah kita bersyukur karena hal itu merupakan nikmat yang diberikan Allah Swt. kepada kita. Ketika takdir yang kita alami
tidak menyenangkan atau merupakan musibah, maka hendaklah kita terima dengan sabar dan ikhlas. Kita harus yakin bahwa dibalik musibah itu ada hikmah yang terkadang kita belum mengetahuinya. Allah Swt. Maha Mengetahui atas apa yang diperbuat-Nya.

Jadi, Beriman Kepada kepada Qada' dan Qadar (baik ataupun buruk) adalah hukumnya wajib. Bahwa Allah SWT yang mengatur, menghendeki, mengizinkan apapun yang terjadi di alam ini termasuk manusia. 
Jika tidak beriman berarti dihukumkan kafir, karena tidak percaya Allah yang menciptakan, memperbuat, mengizinkan apapun yang terjadi. Contoh daun yang jatuh dari pohon adalah Takdir dan Ketentuan Allah SWT.  

Senin, 06 September 2021

Perwujudan Sikap Syajā’ah (Berani)


Sikap syajā’ah dalam kehidupan, tentu amatlah banyak, apalagi jika dikaitkan dengan ikhtiar memenangkan percaturan hidup muslim di tengah gempuran tantangan dan cobaan dunia yang berat sebelah menyudutkan Islam. Penerapan syajā’ah itu bisa bermacam-macam, sesuai dengan profesi masing-masing. Hanya yang menjadi kesadaran bersama, setiap muslim harus terus memompa semangatnya, jangan kendor, apalagi melemah. Hal yang terakhir ini, jika terjadi tentu tidak menambah optimisme kebangkitan Islam yang sudah dicanangkan Umat Islam di abad ke-15 Hijriyah sekarang ini. Berikut ini, penerapan syajā’ah dalam kehidupan, antara lain sebagai berikut:

Pertama, memiliki daya tahan yang besar. Seseorang bermental berani, jika memiliki daya tahan yang besar dalam menghadapi kesulitan, penderitaan, bahaya, dan mungkin saja penyiksaan, karena ia berada di jalan Allah Swt. Islam banyak memberi teladan terkait dengan syajā’ah, antara lain: Kisah perjuangan Nabi Muhammad Saw., dan para sahabatnya, baik pada periode Mekah maupun Madinah yang kesemuanya menggambarkan sikap syajā’ah. Perhatikan bagaimana mereka terus bertahan dalam suasana tekanan yang luar biasa dari kaum Quraisy. Hingga sebagian mereka gugur syahid--seperti Sumayyah dan Yasir, sebagiannya lagi mengalami penyiksaan--seperti Bilal dan Amar bin Yasir, dan sebagian dari mereka harus rela berhijrah meninggalkan tanah airnya menuju Habasyah (Etiophia/Afrika) demi mempertahankan iman.

Kedua, berterus terang dalam menyampaikan kebenaran.
Sabda Nabi Saw.:
Artinya: “Katakan kebenaran itu, meskipun terasa pahit” (HR. Imam Baihaqi dalam Syu’abul Iman, No. 4737) Berkata terus terang dan konsisten menyuarakan kebenaran merupakan indikasi seseorang itu bersikap berani. Apalagi dilakukan di depan penguasa yang zalim. Tentu memiliki resiko yang besar, boleh jadi nyawa yang menjadi taruhannya. Meski, harus kita pahami bahwa
menyuarakan kebenaran harus tetap dilandasi kesantunan, kesopanan, dan memperhitungkan kemajemukan di berbagai bidang. Nabi Musa a.s. memberi teladan kepada kita, saat beliau berhadapan dengan Firaun yang sudah melewati batas, beliau menggunakan tutur kata yang santun, sopan, dan enak didengar, serta memperhatikan betul siapa yang dihadapi, meski pada akhirnya belum
berhasil mencapai sasaran. Tidak sedikit, kita melihat orang yang berdusta atau diam karena khawatir akan resiko-resikonya. Sikap ini dipilih untuk mencari jalan selamat. Atau memang ia seorang pengecut dan penakut. Padahal, sangat mungkin penguasa itu akan mendapatkan hidayah, bila ada
yang menyampaikan kebenaran, tanpa rasa takut kepadanya.


Ketiga, memegang rahasia.
Kerahasiaan--terlebih lagi dalam konteks perjuangan--adalah sesuatu yang berat dan besar resiko dan akibatnya. Terbongkarnya rahasia, dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, kesiapan memegang rahasia menjadi indikasi syaja’ah seorang muslim dalam medan perjuangan. Ambil contoh, di zaman Rasulullah Saw. tidak banyak sahabat yang diberi amanah memegang rahasia. 
Keempat, mengakui kesalahan. Mengakui kesalahan menjadi ciri pribadi pemberani. Sebaliknya, sikap tidak mau mengakui kesalahan, mencari kambing hitam atau bersikap “lempar batu, sembunyi tangan”, adalah ciri pribadi yang pengecut. Tidak mudah mengakui kesalahan. Terkadang tumbuh rasa malu, khawatir dikucilkan, bahkan cemas dipandang sinis oleh pihak lain, meski mengakui kesalahan, itu sangat menguntung.

Misalnya, ibrah yang diperankan oleh Nabi Adam a.s. saat berada di surga, agar tidak ‘mendekati pohon itu’, lalu nafsu buruk dan setan bersekongkol menggoda keduanya (Nabi Adam a.s. dan Siti Hawa), akibatnya keduanya tergelincir, dan berbuat dosa, namun tidak dilimpahkan kesalahan itu pada setan yang menggodanya, tetapi diakui kesalahan itu akibat kesalahannya sendiri dan bertobat dengan
sungguh-sungguh, akhirnya Allah Swt. membuka pintu ampunan kepada keduanya. Allah Swt. berfrman:

Artinya : Keduanya berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. al-A’rāf/7: 23)

Kelima, bersikap objektif kepada diri sendiri. 
Jika lihat dengan seksama, orang-orang yang ada di sekitar kita, ada saja orang yang cenderung over estimasi terhadap dirinya, menganggap dirinya baik, hebat, mumpuni, dan tidak memiliki kelemahan serta kekurangan. Sebaliknya, ada juga yang bersikap under estimasi terhadap dirinya, yakni menganggap dirinya bodoh,tidak mampu berbuat apa-apa, dan tidak memiliki kelebihan apa pun.
Kedua sikap tersebut jelas tidak proporsional dan tidak obyektif. Orang yang berani akan bersikap objektif terhadap dirinya, bahwa msetiap diri memiliki sisi baik dan buruk; kelebihan dan kekurangan.
Sikap seperti ini membuka kesempatan pihak lain berperan untuk saling melengkapi dan menutupi, bahkan membutuhkan keberadaan orang lain. Di sisi lain, ia pun tidak meremehkan kemampuan dirinya. Sehingga ia bisa berbuat lebih banyak dan berkontribusi secara optimal dengan potensi yang dimilikinya. Orang sekaliber Abu Bakar Shiddiq r.a. saat diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak rakyatnya:
“Wahai manusia, aku dipilih sebagai pemimpin kalian, dan aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, ikutilah aku. Jika berbuat buruk, luruskanlah aku.”


Keenam, menguasai diri saat marah.
Pemberani itu jika seseorang mampu bermujahadah li nafsi, melawan nafsu dan amarah, menekan beragam keinginan, meski ia memiliki kemampuan. Tetap mengendalikan diri, di tengah gempuran keinginan. Orang seperti inilah yang bisa dipandang sebagai pemberani, karena kemampuannya menahan diri dan mengendalikan emosi. Amarah itu menggelincirkan manusia pada sikap serampangan, ceroboh dan kehilangan kontrol diri. Oleh karena itu, Islam memerintahkan untuk bisa mengendalikan diri dari amarah. Sampaisampai Rasulullah Saw. mengajarkan untuk tidak marah berulangulang. Bila masih muncul perasaan itu, maka ubahlah posisi dirinya. Bila juga masih berkobar-kobar, maka pergilah dan ambillah wudhu. Karena rasa marah itu bersal dari setan. Setan diciptakan dari api, dan api bisa padam, jika disiram dengan air. Rasululullah Saw., bersabda: 
“Apakah yang kamu sebut dengan orang perkasa (jagoan).” Jawab kami: “Orang yang dengan
(mudah) merobohkan lawannya.” Sabda beliau: “Bukan itu seorang yang perkasa, tetapi seorang yang mampu menguasai dirinya saat marah (H.R. Muslim)

Minggu, 05 September 2021

Definisi Iman Kepada Qada dan Qadar (lanjutan)

 







Ngaji Dino Iki #824: Meraih dan Mewujudkan Takdir | Berita Muhammadiyah  Populer

Setiap muslim wajib mengimani Qada' dan Qadar Allah Swt., yang baik ataupun yang buruk. Firman Allah Swt.: 
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Swt. mengetahui apa saja yang ada di langit dandi bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah Swt.” (Q.S. al-Hajj/22:70).


“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah Swt”. (Q.S. al-Hadid/57:22).

Jika didefinisikan dengan kata lain, Qadar dan takdir merupakan perwujudan atau realisasi dari Qada. Hubungan antara Qada dan Qadar sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Qada adalah ketetapan yang masih bersifat rencana dan ketika rencana itu sudah menjadi kenyataan, maka kejadian nyata itu bernama Qadar atau takdir. Dalam kehidupan sehari-hari, kita terbiasa menggunakan kata-kata takdir, padahal yang dimaksud adalah Qada dan Qadar.
Iman kepada Qada' dan Qadar meliputi empat prinsip, sebagai berikut :
a. Iman kepada ilmu Allah Swt. yang Qadim (tidak berpermulaan), dan Dia mengetahui perbuatan manusia sebelum mereka melakukannya.

b. Iman bahwa semua Qadar Allah Swt. telah tertulis di Lauh Mahfuzh.
c. Iman kepada adanya kehendak Allah Swt. yang berlaku dan kekuasaan-Nya yang bersifat menyeluruh.
d. Iman bahwa Allah Swt. adalah Zat yang mewujudkan makhluk. Allah Swt. adalah Sang Pencipta dan yang lain adalah makhluk. 
Qada' dan Qadar biasa disebut dengan satu kata, “takdir”. 

Bagi manusia dan makhluk lain, ada pandangan takdir baik dan buruk, tetapi dalam pandangan Allah Swt., semua takdir itu baik, karena keburukan tidak dinisbatkan kepada Allah Swt. Ilmu Allah Swt., kehendak-Nya, catatan-Nya, dan penciptaanNya semua itu adalah kebijaksanaan, keadilan, kasih sayang, dan kebaikan. Keburukan bukanlah sifat Allah Swt. dan bukan pula pekerjaan-Nya. Perhatikan frman Allah Swt. berikut. Sesungguhnya Allah Swt. tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia Itulah yang berbuat zalim kepada dirinya sendiri” (Q.S.Yµnus/10:44).



Rabu, 01 September 2021

Iman Kepada Qada dan Qadar

 




Pengertian Qada dan QadaPara ulama berbeda pandangan dalam memberikan arti kata Qada' dan Qadar. Sebagian ulama mengartikan sama. Namun, sebagian ulama yanglain memberikan arti yang berbeda. Pandangan yang membedakan antara Qada dan Qadar, mendefniskan Qadar dengan “ilmu Allah Swt. tentang apa yang akan terjadi pada makhluk di masa mendatang. ”Qada adalah “ segala sesuatu yang Allah Swt. wujudkan (adakan atau berlakukan) sesuai dengan ilmu dan kehendaknya.” Sebagian ulama yang lain justru menerapkan defnisi di atas secara terbalik, yakni defnisi Qada dan Qadar ditukar. Pendapat yang menyamakan Qada dan Qadar memberikan defnisi ”bahwa aturan baku yang diberlakukan oleh Allah Swt. terhadap alam ini, undangundang yang bersifat umum, dan hukum-hukum yang mengikat sebab dan akibat”. Pengertian itu diilhami oleh beberapa ayat al-Qur'an, seperti frman Allah Swt.:

Artinya: “Allah Swt. mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya”. (Q.S. ar-Ra’d /13:8). 

اَللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ اُنْثٰى وَمَا تَغِيْضُ الْاَرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ ۗوَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهٗ بِمِقْدَارٍ

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Qada menurut bahasa berarti “menentukan atau memutuskan”, sedangkan menurut istilah artinya “segala ketentuan Allah Swt. sejak zaman azali”. Adapun pengertian Qadar menurut bahasa adalah “memberi kadar, aturan, atau ketentuan”. Menurut istilah berarti ”ketetapan Allah Swt. terhadap seluruh makhluk-Nya tentang segala sesuatu”. Firman Allah Swt.:

الَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَّلَمْ يَكُنْ لَّهٗ شَرِيْكٌ فِى الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهٗ تَقْدِيْرًا

Artinya: “Yang kepunyaan-Nya lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu baginya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”. (Q.S. al-Furqan/25:2).

Iman kepada Qada dan Qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh hati bahwa Allah Swt. telah menentukan segala sesuatu bagi makhluk-Nya. Menurut Yasin, iman kepada Qada dan Qadar adalah “mengimani adanya ilmu Allah Swt. yang qadim dan mengimani adanya kehendak Allah Swt. yang
berlaku serta kekuasaan-Nya yang menyeluruh”. 

Keberanian dalam kebenaran (Syajaah & Jujur)

 


Akhlak mulia yang harus dimiliki oleh setiap muslim adalah Syajā’ah .Ditinjau dari makna bahasa, ia memiliki arti: Nyata/jelas kekuatan, keberanian, tekun, kegagahannya; kekuatan hati menghadapi keputusasaan; tenang, sabar, menguasai diri.” Adapun makna istilah dari syaja’ah adalah “kemampuan
menundukkan jiwa agar tetap tegar, teguh, dan tetap maju saat 
berhadapan dengan problematika hidup, musuh atau musibah.” Berdasarkan pengertian tersebut, syajā’ah mencakup kekuatan akal sehat untuk mengendalikan nafsu agar tidak berbuat sekehendaknya. Makna lainnya adalah berani karena benar, dan berani membela kebenaran. Bukan makna syaja’ah, jika berani menentang siapa saja dengan tidak mempedulikan benar atau salah, berani memperturutkan hawa nafsu, akan tetapi berani yang didasari kebenaran dan berani karena membela kebenaran, serta berbuat menurut pertimbangan akal sehatnya.

Selanjutnya, antonim (lawan) dari syajā’ah adalah al-jubn  yang artinya pengecut. Sikap seperti itu merupakan sikap tercela. Sifat pengecut sangat berbahaya, terutama pengecut dalam berkomitmen
terhadap kebenaran, karena takut celaan manusia; takut kehilangan harta dunia; atau takut terhadap berbagai resiko perjuangan. Jika ini terjadi, maka bersiaplah menerima kekalahan, kehinaan, dan kegagalan. 
Penakut adalah sifat tercela, sifat orang-orang yang tidak benarbenar takut kepada Allah Swt. Perilaku syaja’ah mengandung juga makna kesabaran. Seseorang dapat bersabar terhadap sesuatu, jika
dalam jiwanya ada keberanian menerima musibah, atau keberanian dalam mengerjakan sesuatu. Pada diri seorang pengecut, sukar didapatkan sikap sabar, berani, serta jujur terhadap diri sendiri.


Firman Allah Swt.
فَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْاۗ اِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya: Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (Q.S. Hūd/11 : 112).

Sifat syaja’ah harus terhujam secara mendalam di dada setiap muslim. Sebab jika tidak, umat Islam akan kehilangan izzah (wibawa, kehormatan, dan kemuliaan). Begitu juga, umat Islam harus selalu
berani bersikap dan menghindari sifat
ikut-ikutan, tidak memiliki pendirian, tidak konsisten, plin plan, semua itu menjadi faktor yang memperlemah dan runtuhnya kemuliaan Islam dan wibawa kaum