Jumat, 17 Juni 2016

Menilik Urgensi Universitas Negeri Islam





UIN sebenarnya jika boleh dicermati merupakan wadah yang memberikan  koneksi integral bagi seluruh cabang ilmu pengetahuan apapun itu datangnya entah dari barat ataupun dari timur.  Karena ilmu pada hakikatnya memberikan pencerahan, petunjuk, dan bekal manusia didalam menjalani kehidupan.  
Kaum muslimin tidak hanya memandang pendidikan sebagai pusat peningkatan kualitas SDM tetapi juga sebaga pusat menstransmisikikan doktrin Islam kepada generasi penerus. Oleh karena itu dipandang perlu bahwa umat islam di Indonesia harus memiliki Perguruan tinggi sebagai pencetak mahasiswa, cendekiawan, kyai, guru, ataupun keahlian liannya yang bisa menjalakan misi tersebut kepada masyarakat luas. Kesadaran yang tinggi umat Islam indonesia akan pentingnya pendidikan merupakan hasil interaksi dan koneksi antara pusat-pusat studi di Timur Tengan. Yang mana banyak sekali umat islam Indonesia yang memiliki kekuatan finansial lebih menuntut ilmu di perguruan tinggi Timur tengah. Dengan banyaknya alumni tersebut maka menyebabkan masyarakat islam lain terdorong untuk menempuh pendidikan tinggi.[1]

UIN pada era sekarang  sangat diharapkan dapat memberikan kontrubusi yang penting dan banyak bagi perkembangan pendidikan dan pendidikan Islam. Terlepas dari dampak negatif yang dimunculkannya. Sangat tidak layak jika dampak negatif itu menelan dampak positif yang besar bagi  kemajuan ilmu pengetahuan.  Kiranya dampak negatif hanya dapat dipandang sebagai kekhawatiran para ahli pada tatanan ilmu pengetahuan yang berpengaruh kepada sistem sosial masyarakat, paradigma yang berkembang. Misalnya  kehawatiran akan hilangnya “ruh keislaman” di perguruan tinggi jika UIN semakin bertambah dan berkembang. Jika dihadapkan pada masalah demikian. Maka jawaban yang paling tepat adalah bahwa para civitas akademika dan stake holder telah berhadapan  pada realitas bukan lagi kehawatiran semata. Realitas yang dimaksud adalah semakin pesat dan majunya ilmu pengetahuan. Yang mau tidak mau semuanya berhadapan dengan hal tersebut tanpa kecuali.

Jika ditelusuri lebih dalam sebenarnya bukan berkembang atau tidaknya suatu zaman akan tetapi mau tidaknya orang-orang yang ada masa tersebut. Rasulullah telah memberikan contoh saat kondisi umat pada waktu minim ilmu pengetahuan. Maka beliapun memiliki kebijakan untuk membebaskan “keminiman”  ilmu pengetahuan melalui cara pembebasan budak melalui pengajaran yang dilakukan budak terhadap sahabat yang menurut Rasul penting dalam masa tersebut terutama pada masa awal perkembangan Islam. 

Islam sebagai agama  tentu identitas utama bagi pemeluknya. Islam sebagai identitas sebagai cara untuk mengetahui sesamanya dalam rangka menjalani kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya Islam tidak hanya berbicara soal agama, islam tidak hanya bicara teologi, islam tidak hanya bicara praktk ibadah. Pada nyatanya islam berinteraksi dalam kehidupan karena itulah islam tidak hanya bergumul dengan anggotanya. Tetapi islam bergumul dengan seluruh lapisan masyarakat baik itu sesama islam ataupun diluar Islam. Maksud identitas ini bukan sebagai pembeda antara satu dengan yang lain. Akan tetapi bagaimana internalisasi agama itu dapat diketahui oleh anggota. Seperti sifat, prinsip, paradigma, dan termasuk didalam Islam memandang sebuah ilmu pengetahun. Islam pun begitu sangat tinggi terhadap ilmu pengetahua seperti contoh ketika sahabat tidak mampu membaca, menulis maka beliau mencarkan pengajarnya walaupun bukan dari pemeluk Islam.
Sebuah sejarah yang jarang diketahui sekiranya dijadikan dalil yang layak dalam memandang sebuah kondisi sosial,  pemikiran yang terjadi, dan sistem sosial yang berubah. Hal ini menjadikan indikasi pentingya sebuah transformasi dalam kegiatan masyarakat muslim untuk menggeluti pada semua bidang pengetahuan. Semua itu juga tidak lain mengambil ibrah Sejarah masa lalu yang juga memberikan gambaran tentang pendidikan islam zaman dulu Fiqih yakni berbasis oriented education adalah ciri yang menonjol pada masa itu misalnya Madrasah Nizamiyyah benar-benar menjadi model pendidikan yang dikotomi [2] pada waktu itu. Implikasinya adalah hilangnya budaya berfikir ilmiah-rasionalistik dikalangan umat islam yang bercirikan liberal terbuka, inovatif, kontruksif. Hilangya budaya ini  terlebih lagi ada saling serang menyerang antara filosof muslim dengan filosof muslim lainnya. Walaupun dampak argumentasi salah satu filosof muslim tadi menyebabkan pengaruh tradisi serta semangat filosof muslim (ilmuwan) yang rasional menjadi lenyap karenanya. Akhirnya paradigma dikotomi ilmu pengetahuan berkutat pada tubuh umat Islam yang kemudian dirasakan bersama-sama merugikan umat islam yang telah terjadi. [3]
 Terlepas dari sejarah masa lalu jika ditelusuri lebih dalam Islam merupakan agama yang memiliki kitab yang sangat komplit. Misalnya dari masalah privasi sampai masyarakat, dari masalah rakyat sampai pemerintah, dari masalah ibadah sampai hikmah yang mana didalam kitab itu (al-Qur’an) memberikan perintah utama pada saat ia diturunkan ke bumi. Perintah itu tidak lain  adalah perintah membaca (iqra) yang memberikan pengertian bahwa islam adalah agama yang mengandung unsur sainstis.
Melalui perintah membaca Islam hadir memberikan nuansa yang berbeda dengan agama lain. Islam memiliki motto membaca melalui kitab al-Quran yang merupakan pentunjuk bagi Umatnya. Sudah sepantasnya motto itu merupakan pembangunan tradisi keilmuan dalam Islam memang tidak dapat dilepaskan dari konsep iqra.  Karena itu, perintah iqra tentu tidak hanya mengandung makna satu arti akan tetapi memiliki Kandungan makna iqra’ sebagaimana pendapat  pendapat seorang ahli tafsir Indoensia (Prof. Quraisy Sihab) yaitu kata iqra itu sendiri mengandung makna telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri- ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda- tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis maupun tidak tertulis.

Jika dikaitkan dengan perintah membaca, jikalau sudah dilaksanakan maka tentu sebagai umat Islam yang diperintah harus menggunakan potensi akalnya. Tidak hanya memaknai iqra dengan arti membaca saja. Sebagaimana hadis yang mengandung sejarah Rasulullah memerintahkan agar sahabat membaca (belajar) selain ilmu keislaman (ushuluddin), yang mana hadis tersebut disebutkan Rasulullah sesuai zaman itu. Hadis Rasulullah diatas kiranya memberikan ilham bagi umat islam hari ini untuk melihat-lihat, membaca-baca, meneliti keadaan apa yang terjadi. Keadaan itu tidak lain berkembang, majunya ilmu pengetahuan itu sendiri
Dengan demikian menjadikan pilihan yang tepat jika UIN dianggap sebagai tempat tadabbur pengetahuan, literasi pengetahuan, generasi pencetak ilmuan yang melahirkan ulama serta  ulama yang melahirkan  ilmuwan yang dicanangkan pada masa depan. Sehingga tidak lain umat Islam dapat menjadikan UIN sebagai arusisasi perkembangan pengetahuan yang dapat mewujdukan dicita-citakan dan peradaban Islam melalui pendidikan dimasa mendatang. UIN setelah mendapatkan statusnya yang baru sebagai cermin adanya perubahan konsep pendidikan Islam integratif, maka adalah menjadi masyarakat kampus tersebut untuk membangun kualitasnya. Di antara cirri pendidikan yang berkualitas adalah pada penggunaan advance infrastructrure, yaitu dengan tenaga pengajar dan proses belajar yang berkualitas. Sehingga pendidikan mampu memfasilitasi peserta didik/mahasiswa untuk mencapai high level thingking, high level thingking yakni kemampuan berpikir tingkat tinggi yang kompleks dan rumit, yaitu kemampuan penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.[4]


[1] Husni Rahim, “IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia,” dalam dalam Problem dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Komaruddin Hidayat & Hendro Prastyo (Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000), h.  410-411.
[2] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gema Media, 2002), h. 110
[3] Abdul Munir Mulkan, Membangun Tradisi Ilmu Pesantren, dalam Umiarso dan Nur Zazin, Pesantren ditengah Arus Pendidikan: Menjawab Problematika Kontemporer Manajemen Mutu Pesantren, (Semarang: Rasail, 2010), vii.
[4] Bahrul Hayat & Mohammad Ali, Khazanah dan Praktis Pendidikan Islam di Indonesia. Pustaka Cendekia Utama, 2012) h. 85

0 komentar:

Posting Komentar