UIN sebenarnya jika boleh dicermati merupakan wadah yang memberikan
koneksi integral bagi seluruh cabang ilmu
pengetahuan apapun itu datangnya entah dari barat ataupun dari timur. Karena ilmu pada hakikatnya memberikan
pencerahan, petunjuk, dan bekal manusia didalam menjalani kehidupan.
Kaum muslimin
tidak hanya memandang pendidikan sebagai pusat peningkatan kualitas SDM tetapi
juga sebaga pusat menstransmisikikan doktrin Islam kepada generasi penerus.
Oleh karena itu dipandang perlu bahwa umat islam di Indonesia harus memiliki
Perguruan tinggi sebagai pencetak mahasiswa, cendekiawan, kyai, guru, ataupun
keahlian liannya yang bisa menjalakan misi tersebut kepada masyarakat luas.
Kesadaran yang tinggi umat Islam indonesia akan pentingnya pendidikan merupakan
hasil interaksi dan koneksi antara pusat-pusat studi di Timur Tengan. Yang mana
banyak sekali umat islam Indonesia yang memiliki kekuatan finansial lebih
menuntut ilmu di perguruan tinggi Timur tengah. Dengan banyaknya alumni
tersebut maka menyebabkan masyarakat islam lain terdorong untuk menempuh pendidikan
tinggi.[1]
UIN pada era sekarang sangat
diharapkan dapat memberikan kontrubusi yang penting dan banyak bagi
perkembangan pendidikan dan pendidikan Islam. Terlepas dari dampak negatif yang
dimunculkannya. Sangat tidak layak jika dampak negatif itu menelan dampak
positif yang besar bagi kemajuan ilmu
pengetahuan. Kiranya dampak negatif
hanya dapat dipandang sebagai kekhawatiran para ahli pada tatanan ilmu
pengetahuan yang berpengaruh kepada sistem sosial masyarakat, paradigma yang
berkembang. Misalnya kehawatiran akan
hilangnya “ruh keislaman” di perguruan tinggi jika UIN semakin bertambah dan
berkembang. Jika dihadapkan pada masalah demikian. Maka jawaban yang paling
tepat adalah bahwa para civitas akademika dan stake holder telah
berhadapan pada realitas bukan lagi
kehawatiran semata. Realitas yang dimaksud adalah semakin pesat dan majunya
ilmu pengetahuan. Yang mau tidak mau semuanya berhadapan dengan hal tersebut
tanpa kecuali.
Jika ditelusuri lebih dalam sebenarnya bukan berkembang atau
tidaknya suatu zaman akan tetapi mau tidaknya orang-orang yang ada masa
tersebut. Rasulullah telah memberikan contoh saat kondisi umat pada waktu minim
ilmu pengetahuan. Maka beliapun memiliki kebijakan untuk membebaskan
“keminiman” ilmu pengetahuan melalui
cara pembebasan budak melalui pengajaran yang dilakukan budak terhadap sahabat
yang menurut Rasul penting dalam masa tersebut terutama pada masa awal
perkembangan Islam.
Islam sebagai agama tentu
identitas utama bagi pemeluknya. Islam sebagai identitas sebagai cara untuk
mengetahui sesamanya dalam rangka menjalani kehidupan sehari-hari. Pada
kenyataannya Islam tidak hanya berbicara soal agama, islam tidak hanya bicara
teologi, islam tidak hanya bicara praktk ibadah. Pada nyatanya islam
berinteraksi dalam kehidupan karena itulah islam tidak hanya bergumul dengan
anggotanya. Tetapi islam bergumul dengan seluruh lapisan masyarakat baik itu
sesama islam ataupun diluar Islam. Maksud identitas ini bukan sebagai pembeda
antara satu dengan yang lain. Akan tetapi bagaimana internalisasi agama itu
dapat diketahui oleh anggota. Seperti sifat, prinsip, paradigma, dan termasuk
didalam Islam memandang sebuah ilmu pengetahun. Islam pun begitu sangat tinggi
terhadap ilmu pengetahua seperti contoh ketika sahabat tidak mampu membaca,
menulis maka beliau mencarkan pengajarnya walaupun bukan dari pemeluk Islam.
Sebuah sejarah yang jarang diketahui sekiranya dijadikan dalil yang
layak dalam memandang sebuah kondisi sosial,
pemikiran yang terjadi, dan sistem sosial yang berubah. Hal ini
menjadikan indikasi pentingya sebuah transformasi dalam kegiatan masyarakat
muslim untuk menggeluti pada semua bidang pengetahuan. Semua itu juga tidak
lain mengambil ibrah Sejarah masa lalu yang juga memberikan gambaran tentang
pendidikan islam zaman dulu Fiqih yakni berbasis oriented education adalah ciri yang
menonjol pada masa itu misalnya Madrasah Nizamiyyah benar-benar menjadi model
pendidikan yang dikotomi [2] pada waktu itu. Implikasinya adalah
hilangnya budaya berfikir ilmiah-rasionalistik dikalangan umat islam yang
bercirikan liberal terbuka, inovatif, kontruksif. Hilangya budaya ini terlebih lagi ada saling serang menyerang
antara filosof muslim dengan filosof muslim lainnya. Walaupun dampak
argumentasi salah satu filosof muslim tadi menyebabkan pengaruh tradisi serta
semangat filosof muslim (ilmuwan) yang rasional menjadi lenyap karenanya.
Akhirnya paradigma dikotomi ilmu pengetahuan berkutat pada tubuh umat Islam
yang kemudian dirasakan bersama-sama merugikan umat islam yang telah terjadi. [3]
Terlepas dari sejarah masa
lalu jika ditelusuri lebih dalam Islam merupakan agama yang memiliki kitab yang
sangat komplit. Misalnya dari masalah privasi sampai masyarakat, dari masalah
rakyat sampai pemerintah, dari masalah ibadah sampai hikmah yang mana didalam
kitab itu (al-Qur’an) memberikan perintah utama pada saat ia diturunkan ke
bumi. Perintah itu tidak lain adalah
perintah membaca (iqra) yang memberikan pengertian bahwa islam adalah
agama yang mengandung unsur sainstis.
Melalui perintah membaca Islam hadir memberikan nuansa yang berbeda
dengan agama lain. Islam memiliki motto membaca melalui kitab al-Quran yang
merupakan pentunjuk bagi Umatnya. Sudah sepantasnya motto itu merupakan pembangunan tradisi keilmuan dalam Islam memang tidak dapat
dilepaskan dari konsep iqra. Karena itu, perintah iqra tentu tidak
hanya mengandung makna satu arti akan tetapi memiliki Kandungan makna iqra’ sebagaimana
pendapat pendapat seorang ahli tafsir
Indoensia (Prof. Quraisy Sihab) yaitu kata iqra itu sendiri mengandung makna
telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri- ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah
tanda- tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis maupun tidak tertulis.
Jika dikaitkan dengan perintah membaca, jikalau sudah
dilaksanakan maka tentu sebagai umat Islam yang diperintah harus menggunakan
potensi akalnya. Tidak hanya memaknai iqra dengan arti membaca saja.
Sebagaimana hadis yang mengandung sejarah Rasulullah memerintahkan agar sahabat
membaca (belajar) selain ilmu keislaman (ushuluddin), yang mana hadis tersebut
disebutkan Rasulullah sesuai zaman itu. Hadis Rasulullah diatas kiranya
memberikan ilham bagi umat islam hari ini untuk melihat-lihat, membaca-baca,
meneliti keadaan apa yang terjadi. Keadaan itu tidak lain berkembang, majunya
ilmu pengetahuan itu sendiri
Dengan demikian menjadikan pilihan yang tepat jika UIN
dianggap sebagai tempat tadabbur pengetahuan, literasi
pengetahuan, generasi pencetak ilmuan yang melahirkan ulama serta ulama yang melahirkan ilmuwan yang dicanangkan pada masa depan.
Sehingga tidak lain umat Islam dapat menjadikan UIN sebagai arusisasi
perkembangan pengetahuan yang dapat mewujdukan dicita-citakan dan peradaban
Islam melalui pendidikan dimasa mendatang. UIN setelah mendapatkan statusnya yang baru
sebagai cermin adanya perubahan konsep pendidikan Islam integratif, maka adalah
menjadi masyarakat kampus tersebut untuk membangun kualitasnya.
Di antara cirri pendidikan yang berkualitas adalah pada penggunaan advance
infrastructrure, yaitu dengan tenaga pengajar dan proses belajar yang
berkualitas. Sehingga pendidikan mampu memfasilitasi peserta didik/mahasiswa
untuk mencapai high level thingking, high level thingking yakni
kemampuan berpikir tingkat tinggi yang kompleks dan rumit, yaitu kemampuan
penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.[4]
[1] Husni Rahim,
“IAIN dan Masa Depan Islam Indonesia,” dalam dalam Problem dan Prospek IAIN: Anotologi Pendidikan Tinggi Islam, ed.
Komaruddin Hidayat
& Hendro Prastyo
(Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, 2000), h. 410-411.
[2] Abdurrahman
Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik Humanisme Religius Sebagai
Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gema Media, 2002), h. 110
[3] Abdul Munir
Mulkan, Membangun Tradisi Ilmu Pesantren, dalam Umiarso dan Nur Zazin,
Pesantren ditengah Arus Pendidikan: Menjawab Problematika Kontemporer
Manajemen Mutu Pesantren, (Semarang: Rasail, 2010), vii.
[4] Bahrul Hayat & Mohammad Ali, Khazanah dan Praktis Pendidikan Islam di Indonesia. Pustaka Cendekia Utama, 2012) h. 85