This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 08 Maret 2022

Ketentuan Pembagian Harta Harisan



 Pembagian harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia merupakan hal yang terakhir dilakukan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan sebelum harta warisan dibagikan. Selain pengurusan jenazah, wasiat dan hutang si mayatlah yang harus terlebih dahulu ditunaikan. Dalam al-Qur±n terdapat ayat-ayat yang menegaskan bahwa pembagian harta warisan dilaksanakan setelah penunaian wasiat dan utang si mayit, seperti yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa/4:11

Artinya: “Allah Swt. mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya”. (Q.S. an-Nisa/4:11).

Ahli waris dalam pembagian harta warisan terbagi dua macam yaitu ahli waris z±wil furµd (yang bagiannya telah ditentukan) dan ahli waris ashabah (yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furµd ).

a. Ahli waris Zawil Furµd Ahli waris yang memperoleh kadar pembagian harta warisan telah diatur oleh Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa’/4 dengan pembagian terdiri dari enam kelompok, penjelasan sebagaimana di bawah ini.

1) Mendapat ½ 

a) Suami, jika istri yang meninggal tidak ada anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki. 

b) Anak perempuan, jika tidak ada saudara laki-laki atau saudara perempuan. 

c) Cucu perempun, jika sendirian; tidak ada cucu laki-laki dari anak laki-laki d) Saudara perempuan sekandung jika sendirian; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada bapak, tidak ada anak atau tidak ada cucu dari anak laki-laki. 

e) Saudara perempuan sebapak sendirian; tidak ada saudara lakilaki, tidak ada bapak atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. 

2) Mendapat ¼ 

a) Suami, jika istri yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki. 

b) Istri, jika suami yang meninggal tidak memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki. 

3) Mendapat 1/8 

Yang berhak mendapatkan bagian 1/8 adalah istri, jika suami memiliki anak atau cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki. Jika suami memiliki istri lebih dari satu, maka 1/8 itu dibagi rata di antara semua istri.

 4) Mendapat 2/3 

a) Dua anak perempuan atau lebih, jika tidak ada anak laki-laki.

b) Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung. 

c) Dua saudara perempuan sekandung atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sebapak atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak. 

d) Dua saudara perempuan sebapak atau lebih, jika tidak ada saudara perempuan sekandung, atau tidak ada anak laki-laki atau perempuan sekandung atau sebapak. 

5) Mendapat 1/3

 a) Ibu, jika yang meninggal dunia tidak memiliki anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki, tidak memiliki dua saudara atau lebih baik laki-laki atau perempuan. 

b) Dua saudara seibu atau lebih, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki. 

c) Kakek, jika bersama dua orang saudara kandung laki-laki, atau empat saudara kandung perempuan, atau seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan

6) Mendapat 1/6 

a) Ibu, jika yang meninggal dunia memiliki anak laki-laki atau cucu laki-laki, saudara laki-laki atau perempuan lebih dari dua yang sekandung atau sebapak atau seibu. 

b) Nenek, jika yang meninggal tidak memiliki ibu dan hanya ia yang mewarisinya. Jika neneknya lebih dari satu, maka bagiannya dibagi rata. 

c) Bapak secara mutlak mendapat 1/6, baik orang yang meninggal memiliki anak atau tidak. 

d) Kakek, jika tidak ada bapak. 

e) Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, jika yang meninggal dunia tidak memiliki bapak, kakek, anak laki-laki, cucu perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki. 

f) Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika bersama dengan anak perempuan tunggal; tidak ada saudara laki-laki, tidak ada anak laki-laki paman dari bapak. 

g) Saudara perempuan sebapak, jika ada satu saudara perempuan sekandung, tidak memiliki saudara laki-laki sebapak, tidak ada ibu, tidak ada kakek, tidak ada anak laki-laki

Untuk ahli waris ashabah nanti pada pertemuan selanjutnya...

Sebab-Sebab Tidak Mendapatkan Harta.

 



Warisan Sebab-sebab yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah sebagai berikut. 

a. Kekafiran. Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim. Dari Usamah bin Zaid radliallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi orang muslim.” (H.R. Bukhari)

b. Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw.: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (¦R. Ibnu Abdil Bar).

c. Perbudakan. Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw.,yang artinya: “Ia (seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”

d. Perzinaan. Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya.

Dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha mengatakan, Sa’d dan Ibnu Zam’ah bersengketa, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Anak laki-laki itu milikmu hai Abd bin Zam’ah, karena anak itu milik pemilik kasur, dan berhijablah engkau darinya ya Saudah!” Sedang Qutaibah menambah redaksi kepada kami dari Al Laits; “dan bagi pezina adalah batu.” (H.R.Bukhari).

e. Li’an. Anak suami isteri yang melakukan li’an tidak dapat mewarisi dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini diqiyaskan dengan anak dari hasil perzinaan.

Rabu, 02 Maret 2022

Macam-Macam Mu’amalah




a. Pengertian Jual-Beli.
Jual-beli menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar benda untuk memiliki benda tersebut selamanya. Melakukan jual-beli dibenarkan, sesuai dengan firman Allah Swt. berikut ini:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya:”... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (QS. al-Baqarah : 275). Apabila jual-beli itu menyangkut suatu barang yang sangat besar nilainya, dan agar tidak terjadi kekurangan di belakang hari, al-Qur’an menyarankan agar dicatat, dan ada saksi, lihatlah penjelasan ini pada Q.S. al-Baqarah/2: 282. 

b. Syarat-Syarat Jual-Beli. 

Syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Islam tentang jual-beli adalah sebagai berikut. 1) Penjual dan pembelinya haruslah: a) ballig, b) berakal sehat, c) atas kehendak sendiri. 

2) Uang dan barangnya haruslah:  a) halal dan suci. Haram menjual arak dan bangkai, begitu juga babi dan berhala, termasuk lemak bangkai tersebut; b) bermanfaat. Membeli barang-barang yang tidak bermanfaat sama dengan menyia-nyiakan harta atau pemboros.

إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ ۖ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Artinya: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isra’ : 27) 

c) Keadaan barang dapat diserahterimakan. Tidak sah menjual barang yang tidak dapat diserahterimakan. Contohnya, menjual ikan dalam laut atau barang yang sedang dijadikan jaminan sebab semua itu mengandung tipu daya. 

d) Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli. 

 e) Milik sendiri, sabda Rasulullah Saw., “Tak sah jual-beli melainkan atas barang yang dimiliki.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi). 


3) Ijab Qobul. Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian.” Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti jual-beli itu berlangsung suka sama suka. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jual-beli itu hanya sah jika suka sama suka.” (HR. Ibnu Hibban)

2. Khiyar. 

1) Pengertian Khiyar. Khiyar adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau membatalkannya. Islam memperbolehkan melakukan khiyar karena jual-beli haruslah berdasarkan suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan sedikit pun. Penjual berhak mempertahankan harga barang dagangannya, sebaliknya pembeli berhak menawar atas dasar kualitas barang yang diyakininya. Rasulullah Saw. bersabda, “Penjual dan pembeli tetap dalam khiyar selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya berlaku benar dan suka menerangkan keadaan (barang)nya, maka jual-belinya akan memberkahi keduanya. Apabila keduanya menyembunyikan keadaan sesungguhnya serta berlaku dusta, maka dihapus keberkahan jual-belinya.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

2) Macam-Macam Khiyar. a) Khiyar Majelis, adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar, keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli. Rasulullah saw. bersabda, “Dua orang yang berjual-beli, boleh memilih akan meneruskan atau tidak selama keduanya belum berpisah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

b) Khiyar Syarat, 

adalah khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli. Misalnya penjual mengatakan, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar tiga hari.” Maksudnya penjual memberi batas waktu kepada pembeli untuk memutuskan jadi tidaknya pembelian tersebut dalam waktu tiga hari. Apabila pembeli mengiyakan, status barang tersebut sementara waktu (dalam masa khiyar) tidak ada pemiliknya. Artinya, si penjual tidak berhak menawarkan kepada orang lain lagi. Namun, jika akhirnya pembeli memutuskan tidak jadi, barang tersebut menjadi hak penjual kembali. Rasulullah saw. bersabda kepada seorang lelaki, “Engkau boleh khiyar pada segala barang yang engkau beli selama tiga hari tiga malam.” (HR. Baihaqi dan Ibnu Majah) 

c) Khiyar Aib (cacat), adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya dilakukan sesegera mungkin.

3. Riba

1) Pengertian Riba. Riba adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal ini sering terjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan pinjam-meminjam. Riba, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram. Sanksi hukumnya juga sangat berat. Diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan bahwa, “Rasulullah mengutuk orang yang mengambil riba, orang yang mewakilkan, orang yang mencatat, dan orang yang menyaksikannya.” (HR. Muslim). Dengan demikian, semua orang yang terlibat dalam riba sekalipun hanya sebagai saksi, terkena dosanya juga. Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis seperti emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat: a) sama timbangan ukurannya; atau b) dilakukan serah terima saat itu juga, c) secara tunai. 

Apabila tidak sama jenisnya, seperti emas dan perak boleh berbeda takarannya, namun tetap harus secara tunai dan diserahterimakan saat itu juga. Kecuali barang yang berlainan jenis dengan perbedaan seperti perak dan beras, dapat berlaku ketentuan jual-beli sebagaimana barang-barang yang lain. 

2) Macam-Macam Riba. 

a) Riba Faḍli, adalah pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya. Misalnya, cincin emas 22 karat seberat 10 gram ditukar dengan emas 22 karat namun seberat 11 gram. Kelebihannya itulah yang termasuk riba. 

b) Riba Qorḍi, adalah pinjammeminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikannya. Misal si A bersedia meminjami si B uang sebesar Rp100.000,00 asal si B bersedia mengembalikannya sebesar Rp115.000,00. Bunga pinjaman itulah yang disebut riba. 

c) Riba Yadi, adalah akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan pembeli berpisah sebelum melakukan serah terima. Seperti penjualan kacang, ketela yang masih di dalam tanah. 

d) Riba Nasi’ah, adalah akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian. Misalnya, membeli buah-buahan yang masih kecil-kecil di pohonnya, kemudian diserahkan setelah besar-besar atau setelah layak dipetik. Atau, membeli padi di musim kemarau, tetapi diserahkan setelah panen.

Selasa, 01 Maret 2022

Ketentuan Mawaris dalam Islam




1. Ahli Waris 

Berikut ini akan dipaparkan beberapa pihak yang berhak mendapatkan harta warisan.

Dari Pihak Laki-Laki

 a. anak lelaki b. cucu lelaki dari anak lelaki c. bapak d. kakek dari bapak sampai ke atas e. saudara sekandung f. saudara seayah g. saudara seibu h. anak lelaki dari saudara sekandung i. anak lelaki dari saudara seayah j. paman yang sekandung dengan ayah si mati k paman yang seayah dengan ayah si mati l. anak lelaki dari paman yang sekandung m. anak lelaki dari paman yang seayah n. suami 

Dari Pihak Perempuan 

a. anak perempuan b. cucu perempuan dari anak lelaki dan terus ke bawah c. ibu d. nenek dari bapak sampai ke atas e. nenek dari ibu sampai ke atas f. saudara perempuan sekandung g. saudara perempuan sebapak h. saudara perempuan seibu i. istri 

Jika semua unsur warisan di atas masih ada, yang berhak menerima harta pusaka hanya suami dan istri, ibu, bapak, anak lelaki dan anak perempuan. Sementara yang lain tidak dapat mewarisi.


2. Syarat-Syarat Mendapatkan Warisan 

Seorang muslim berhak mendapatkan warisan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. 

a. Tidak adanya salah satu penghalang dari penghalang-penghalang untuk mendapatkan warisan. 

b. Kematian orang yang diwarisi, walaupun kematian tersebut berdasarkan vonis pengadilan. Misalnya hakim memutuskan bahwa orang yang hilang itu dianggap telah meninggal dunia. 

c. Ahli waris hidup pada saat orang yang memberi warisan meninggal dunia. Jadi, jika seorang wanita mengandung bayi, kemudian salah seorang anaknya meninggal dunia, maka bayi tersebut berhak menerima warisan dari saudaranya yang meninggal itu, karena kehidupan janin telah terwujud pada saat kematian saudaranya terjadi

3. Sebab-Sebab Menerima Harta Warisan 

Seseorang mendapatkan harta warisan disebabkan salah satu dari beberapa sebab sebagai berikut. 

a. Nasab (keturunan), yakni kerabat yaitu ahli waris yang terdiri dari bapak dari orang yang diwarisi atau anak-anaknya beserta jalur kesampingnya saudara-saudara beserta anak-anak mereka serta paman-paman dari jalur bapak beserta anak-anak mereka. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa’/4:33: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya...” 

 b. Pernikahan, yaitu akad yang sah untuk menghalalkan berhubungan suami isteri, walaupun suaminya belum menggaulinya serta belum berduaan dengannya. Allah Swt. berfirman dalam Q.S. an-Nisa’/4:12: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” Suami istri dapat saling mewarisi dalam talak raj’i selama dalam masa idah dan ba’in, jika suami menalak istrinya ketika sedang sakit dan meninggal dunia karena sakitnya tersebut. 

c. Wala’, yaitu seseorang yang memerdekakan budak laki-laki atau budak wanita. Jika budak yang dimerdekakan meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan ahli waris, maka hartanya diwarisi oleh yang memerdekakannya itu. Rasulullah saw. bersabda :

“. . . Wala’ itu milik orang yang memerdekakannya . . .” (HR. al-Bukhari dan Muslim). 

Kamis, 24 Februari 2022

Dasar-Dasar Hukum Waris dan Dalil Ketentuan Waris Dalam Islam

Sumber hukum ilmu mawaris yang paling utama adalah al-Quran, kemudian As-Sunnah/hadis dan setelah itu ijma’ para ulama serta sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid.

1. Al-Qur'an Dalam Islam saling mewarisi di antara kaum muslimin hukumnya adalah wajib berdasarkan al-Quran dan Hadis Rasulullah saw. Banyak ayat al-Quran yang mengisyaratkan tentang ketentuan pembagian harta warisan ini. Di antaranya firman Allah Swt. dalam Q.S. an-Nisa/4:7

لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَۖ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدٰنِ وَالْاَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ اَوْ كَثُرَ ۗ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًا

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibubapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.

Ayat-ayat lain tentang mawaris terdapat dalam berbagai surat, seperti dalam Q.S. an-Nis±’/4:7 sampai dengan 12 dan ayat 176, Q.S an-Nahl/16:75 dan Q.S alAhz±b/33: ayat 4, sedangkan permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh As-Sunnah, dan sebagian sebagai hasil ijma’ dan ijtihad.

2. As-Sunnah

a. Hadis dari Ibnu Mas’ud berikut.

Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, katanya: Bersabda Rasulullah saw..: “Pelajarilah al-Quran dan ajarkanlah ia kepada manusia, dan pelajarilah al faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia. Maka sesungguhnya aku ini manusia yang akan mati, dan ilmu pun akan diangkat. Hampir saja nanti akan terjadi dua  orang yang berselisih tentang pembagian harta warisan dan masalahnya; maka mereka berdua pun tidak menemukan seseorang yang memberitahukan pemecahan masalahnya kepada mereka”. (¦.R. Ahmad).

b. Hadis dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi saw. bersabda:

Artinya: “Ilmu itu ada tiga macam dan yang selain yang tiga macam itu sebagai tambahan saja: ayat muhkamat, sunnah yang datang dari Nabi dan faraidh yang adil”. (¦.R. Abµ Daµd dan Ibnu Majah). Berdasarkan kedua hadis di atas, maka mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah, artinya semua kaum muslimin akan berdosa jika tidak ada sebagian dari mereka yang mempelajari ilmu faraidh dengan segala kesungguhan.

3. Posisi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia

 Hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), mulai pasal 171 diatur tentang pengertian pewaris, harta warisan dan ahli waris. Kompilasi Hukum Islam merupakan kesepakatan para ulama dan perguruan tinggi berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991. Yang masih menjadi perdebatan hangat adalah keberadaan pasal 185 tentang ahli waris pengganti yang memang tidak diatur dalam fiqih Islam. Di bawah ini secara ringkas dapat dikemukakan tabel hukum waris Islam menurut Kompilasi Hukum Islam






Muamalah dan Ekonomi Islam




Muamalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang termasuk urusan kemasyarakatan (per­­gaulan, perdata, dan sebagainya). Sementara dalam fiqh Islam berarti tukar-menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinjam-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.

Dalam melakukan transaksi ekonomi, seperti jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang, dan pinjam-meminjam, Islam melarang beberapa hal di antaranya seperti berikut. 

1. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil. 

 2. Tidak boleh melakukan kegiatan riba. 

 3. Tidak boleh dengan cara-cara Zalim (aniaya). 

 4. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan. 

 5. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi. 6. Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram

Pengertian Ekonomi Islam

Sedangkan Ekonomi Islam dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah al-mu’amalah al-madiyah, yaitu aturan-aturan tentang pergaulan dan perhubungan manusia mengenai hidupnya. Ekonomi Islam bukan lahir sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri, melainkan bagian integral dari agama Islam. Sebagai ajaran yang lengkap, Islam memberikan petunjuk terhadap semua aktivitas manusia, termasuk ekonomi. Karena sudah menjadi bagian dari agama Islam, maka ekonomi Islam memiliki sifat dasar sebagai ekonomi Rabbani dan Insani. Rabbani karena sarat dengan arahan dari nilai-nilai Ilahiah. Sedangkan ekonomi Islam dikatakan sebagai ekonomi insani, karena sistem ekonominya dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran manusia. 

 Adapun prinsip-prinsip dalam Ekonomi Islam menurut Muhammad Syafi'; i Antonio (2001) adalah sebagai berikut. 

a) Pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di muka bumi adalah Allah Swt. Kepemilikan manusia adalah bersifat relatif, sebatas melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuatu dengan ketentuannya (silahkan dibaca: Q.S. al-Baqarah/2: 84) 

b) Status harta yang dimiliki manusia adalah: 

 1) harta sebagai amanah dari Allah Swt. mengharuskan manusia melaksanakannya dengan baik dan benar agar harta tersebut dapat membawa kebahagiaan dunia dan akhirat (silahkan dibaca: Q.S. Al-Anfaal/8: 27); 

 2) harta sebagai identitas sosial bagi pemiliknya. Jika harta tersebut menempatkan dirinya pada predikat mampu, maka ia wajib untuk memberikan sebagian dari harta tersebut kepada orang yang tidak mampu (silahkan dibaca: Q.S. al-Isra/17: 26 - 27); 

 3) harta sebagai ujian keimanan. Artinya, mampukah seseorang yang memiliki harta menjadikan hartanya bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan alam (silahkan dibaca: Q.S. al-Anfal/8: 28). 

c) Kepemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha (‘amal) atau mata pencaharian (ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan (silahkan dibaca: Q.S. al-Baqarah/2: 267)

d) Dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang dapat melupakan kematian, melupakan dzikrullah. Contohnya melupakah shalat dan zakat (silahkan dibaca: Q.S. al-Takatsur/102: 1 - 2); 

e) Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba dan jual beli barang yang dilarang atau haram (silahkan dibaca: Q.S. alMaidah/5: 90 - 91). 



Senin, 21 Februari 2022

Pengertian Ilmu Mawaris




Pengantar

Syariat Islam sudah mengatur pembagian harta pusaka (warisan) orang yang meninggal karena harta memainkan peranan yang besar di dalam kehidupan manusia dan menjamin keutuhan tatanan sosial-ekonomi sebuah masyarakat. Harta pusaka menurut perspektif Islam meliputi semua harta. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya perselisihan di antara ahli warus, Islam telah menetapkan bagian masing-masing pihak. Pada zaman jahiliyyah, yakni sebelum datangnya ajaran Islam, kaum perempuan, baik istri, ibu atau kerabat perempuan yang lain, tidak mendapatkan hak dalam pembagian harta pusaka. Harta warisan hanya dibagikan di kalangan kaum lelaki saja. Demikian juga halnya dengan anak-anak yang belum baligh, mereka tidak mendapatkan hak dalam pembagian harta pusaka.

Penyebab tidak diberinya kaum perempuan dan anak-anak dalam pembagian harta warisan karena mereka tidak mampu untuk berperang dan tidak berupaya untuk melindungi kaum keluarga dari ancaman musuh. Ini disebabkan masyarakat Arab jahiliyyah saat itu masih hidup dengan sistem kesukuan dan sangat gemar melakukan peperangan. Lantaran sikap gemar berperang inilah, masyarakat Arab Jahiliyah amat bergantung kepada kaum lelaki yang gagah perkasa untuk melindungi kaum keluarga dan sukunya. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, lahirlah satu sistem waris yang hanya mengutamakan kaum lelaki yang dianggap sebagai benteng suatu suku. 

Sementara kaum lemah, seperti perempuan dan anak-anak, tidak diberikan hak dalam pembagian harta pusaka karena mereka dianggap tidak mampu untuk melindungi suku dan justru harus mendapatkan perlindungan. Akan tetapi, ketika Islam datang fenomena ketidakadilan tersebut menjadi salah satu perhatian utama. Karena memang Islam bertujuan untuk menerangi seluruh kegelapan dan membawa manusia ke jalan yang lurus dan benar. 

Definisi Mawaris

Mawaris merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang yang masih hidup. Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada tiga unsur, yaitu:1) orang mati, yang disebut pewaris atau yang mewariskan, 2) harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta waris, dan 3) satu atau beberapa orang hidup sebagai keluarga dari orang yang mati, yang disebut sebagai ahli waris. 

Ilmu mawaris adalah ilmu yang diberikan status hukum oleh Allah Swt. sebagai ilmu yang sangat penting, karena ia merupakan ketentuan Allah Swt. dalam firman-Nya yang sudah terinci sedemikian rupa tentang hukum mawaris, terutama mengenai ketentuan pembagian harta warisan (al-fµrud al- muqaddarah). Warisan dalam bahasa Arab disebut al-mīrās merupakan bentuk masdar (infinitif) dari kata warisa-yarisu-irsan- mīrāsan yang berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.  Dalam bahasa Arab, kata waris ini berarti harta peninggalan orang yang meninggal dunia, yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Ilmu yang berkaitan dengan masalah pewarisan disebut dengan ilmu mawaris yang lebih dikenal dengan istilah ilmu fara’id.

 Warisan berdasarkan pengertian di atas tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda saja namun termasuk juga yang nonharta benda. Ayat al-Quran yang menyatakan demikian diantaranya terdapat dalam Q.S. an-Naml/27:16: “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud.” Demikian juga dalam hadis Nabi saw. disebutkan yang artinya: “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para Nabi.” Adapun menurut istilah, warisan adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i. 

Definisi lain menyebutkan bahwa warisan adalah perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang beserta akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaan. Ilmu mawaris biasa disebut dengan ilmu far±idh, yaitu ilmu yang membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan harta warisan, yang mencakup masalah-masalah orang yang berhak menerima warisan, bagian masing-masing dan cara melaksanakan pembagiannya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan ketiga masalah tersebut

Kamis, 10 Februari 2022

Berbakti Kepada Guru

 

Dengan kata lain, guru mempunyai dua tugas yang mulia, yaitu menyampaikan ilmu pengetahuan dan membentuk karakter peserta didik. Dalam kajian Islam, guru disebut dengan murabbi, mu’alim, dan mu’addib. Chabib Thoha memberikan pengertian murabbi adalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat rabbani yaitu nama bagi orang-orang yang bijaksana dan terpelajar dalam bidang pengetahuan. Sedangkan mu’alim bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan atau keterampilan. Sementara mua’adib adalah memberi adab dan mendidik peserta didik. Antara ketiga hal tersebut, seharusnya menjadi satu kesatuan yang harus dimiliki guru.

وَمِنَ ٱلنَّاسِ وَٱلدَّوَآبِّ وَٱلْأَنْعَٰمِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَٰنُهُۥ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ


elihat tugas yang mulia tersebut, pakar pendidikan Islam, Muhammad Athiyyah al-Abrasyi menyamakan dengan ‘ulama. Posisi ulama sendiri ditegaskan dalam Q.S. Fathir/35: 28.

Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacammacam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun. (Q.S. Fatir/35: 28).

Guru adalah pewaris para nabi. Mengapa? Karena melalui guru, ilmu yang para nabi, disampaikan kepada umat manusia. Bahkan ulama klasik, al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumudin menegaskan: “Seseorang yang berilmu kemudian bekerja dengan ilmunya, dialah yang dinamakan besar di bawah kolong langit. Ia ibarat matahari yang mencahayai dirinya sendiri dan menyinari orang lain, ibarat minyak kasturi yang baunya dinikmati orang lain dan ia sendiri pun harum. Siapa yang bekerja di bidang pendidikan, sesungguhnya ia telah memilih pekerjaan yang terhormat dan yang sangat penting, hendaknya ia memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya.”

Penyair Syauqi sendiri mengapresiasi posisi guru yang sangat mulia sebagaimana dalam syairnya: “Berdiri dan hormatilah guru dan berilah ia penghargaan. Seorang guru itu hampir saja merupakan seorang rasul.” Guru menurut Muhammad Athiyyah al-Abrasyi adalah abu al-ruh (bapak rohani) bagi peserta didik. Mereka yang membentuk karakter peserta didik untuk taat kepada Allah (shaleh spiritual) dan berbuat baik kepada diri sendiri maupun sesama manusia (saleh sosial). Hal senada juga diungkapkan Ibnu Miskawaih, guru berfungsi sebagai orang tua/bapak ruhani, orang yang dimuliakan, dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan ilahi. Ia mengantarkan peserta didik menjadi arif, menunjukkan kehidupan dan kenikmatan yang abadi, yaitu di surga. 

Dalam hubungannya dengan guru, perlu menyimak yang diungkapkan Ali bin Abi Thalib, “Siapa yang pernah mengajarkan aku satu huruf saja, maka aku siap menjadi budaknya.” Karenanya, Ali bin Abi Thalib dijuluki dengan bab al-ilmi (pintunya ilmu). Ali bin Abi Thalib belajar langsung kepada Nabi Muhammad Saw. Menurut Ali Muhammad ash-Shallabi, Ali bin Abi Thalib gemar bertanya untuk mencari ilmu dan tidak pernah menyia-nyiakan untuk selalu berada di sisi Nabi.

Kemudian, kita juga perlu belajar dari Abdurrahman bin al-Qasim, murid Imam Malik. Ia mengatakan, “Aku mengabdi kepada Imam Malik selama dua puluh tahun, dua tahun di antaranya untuk mempelajari ilmu dan delapan belas untuk mempelajari adab. Seandainya saja aku bisa jadikan seluruh waktu tersebut untuk memperbaiki adab.”

Senin, 24 Januari 2022

Tujuan Pernikahan



Seseorang yang akan menikah harus memiliki tujuan positif dan mulia untuk membina keluarga sakinah dalam rumah tangga, di antaranya sebagai berikut. 

a. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi/ untuk memenuhi kebutuhan seksual yang sah dan diridhai Allah Swt.

Rasulullah saw., bersabda: Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda: “wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya, kalau tidak kamu akan celaka” (HR. Al-Bukhai dan Muslim).


b. Untuk mendapatkan ketenangan hidup / Untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan hidup (sakinah)

Ketentraman dan kebahagiaan adalah idaman setiap orang. Nikah merupakan salah satu cara supaya hidup menjadi bahagia dan tentram.

Allah Swt. berfirman: Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah Swt.) bagi kaum yang berpikir”. (Q.S. ar-Rum/30:21).

c. Untuk membentengi akhlak Rasulullah saw. bersabda: “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (¦R. al-Bukhari dan Muslim).


d. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah Swt.

menikah merupakan pelaksanan dan meningkatkan perintah Allah Swt. Oleh karena itu menikah akan dicatat sebagai ibadah. 

Rasulullah saw. bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!”. Mendengar sabda Rasulullah saw. para sahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah saw., seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa? “ Jawab para shahabat, ”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi, “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (HR. Muslim). 

e. Untuk mendapatkan keturunan yang saleh

Allah Swt. berfirman: “Allah Swt. telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah Swt.?”. (Q.S. an-Nahl/16:72) 

” Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia “. (Q.S. al-Kahfi/ 18: 46) 

f. Mengikuti Sunah Rasulullah Saw. dan Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami 

Rasulullah Saw. mencela orang yang hidup membujang dan beliau menganjurkan umatnya untuk menikah. Sebagaimana sabda beliau dalam haditsnya: Nikah itu adalah sunahku, barang siapa tidak senang dengan sunahku, maka bukan golonganku». (HR. Bukhori dan Muslim).

Rumah tangga yang islami tidak hanya mengatur bagaiaman berumah tangga yang sakinahm nawaddah warahmah, tetapi juga mengatur jika ada terjadi sesuatu yang tidak diinginkan (konflik) hingga perceraian. 

Dalam al-Qur'ann disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya talaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi mempertahankan keutuhan rumah tangga. Firman Allah Swt.: Talaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah Swt., maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukumhukum Allah Swt., maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah Swt. mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Q.S. al-Baqarah/2:229)

Senin, 10 Januari 2022

Arti (Makna) Pernikahan

 


Pernikahan merupakan fitrah yang dilakukan  para nabi,  wali,  ulama, dan para orang saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pernikahan dalam ajaran Islam dinilai sebagai aktivitas peribadatan yang penuh kenikmatan sekaligus memperoleh ganjaran. Islam mengajarkan demikian sebab sebagai agama fi trah Islam tidaklah membelenggu perasaan manusia. Islam tidaklah mengingkari perasaan cinta yang tumbuh pada diri seorang. Agama Islam justru mengajarkan manusia untuk menjaga perasaan cinta yang harus dirawat dan dilindungi dari kehinaan yang mengotorinya. Islam membersihkan dan mengarahkan perasaan cinta untuk diwujudkan secara kuat.

Pernikahan adalah  sunnatullah yang berlaku umum bagi semua makhluk Nya. AlQurān menyebutkan dalam Q.S. adz-zariyat /51:49. “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah Swt.“ Islam sangat menganjurkan pernikahan, karena dengan pernikahan manusia akan berkembang, sehingga kehidupan umat manusia dapat dilestarikan. Tanpa pernikahan regenerasi akan terhenti, kehidupan manusia akan terputus, dunia pun akan sepi dan tidak berarti, karena itu Allah Swt. mensyariatkan pernikahan sebagaimana difirmankan dalam Q.S. an-Nahl/16:72.


Artinya: “ Allah Swt. menjadikan dari kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dan istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah Swt.” 

Ayat tersebut menguatkan rangsangan bagi orang yang merasa belum sanggup, agar tidak khawatir karena belum cukup biaya, karena dengan pernikahan yang benar dan ikhlas, Allah Swt. akan melapangkan rezeki yang baik dan halal untuk hidup berumah tangga, sebagaimana dijanjikan Allah Swt. dalam firman-Nya:    “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah Swt. akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Swt. Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” ( Q.S. an-Nur/24:32). Rasulullah saw. juga banyak menganjurkan kepada para remaja yang sudah mampu untuk segera menikah agar kondisi jiwanya lebih sehat, seperti dalam hadis  berikut. “Wahai para pemuda! Siapa saja di antara kalian yang sudah mampu maka menikahlah, karena pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Jika belum mampu maka berpuasalah, karena berpuasa dapat menjadi benteng (dari gejolak nafsu)”. (¦R. Al-Bukhari dan Muslim).

 Makna Pernikahan dalam Islam 

Kata  nikah berasal dari bahasa Arab yang berarti (al-jam’u) atau ”bertemu, berkumpul”. Menurut istilah,  nikah ialah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga melalui akad yang dilakukan menurut hukum syariat  Islam. 

”nikah” juga diartikan sebagai “perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) atau “pernikahan”. Sedang menurut syari’ah, “nikah” berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya yang menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing. 

 Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa  perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ritual ibadah. Sementara itu, menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan Pasal 1 dijelaskan bahwa  perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk  keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.