Dalam beberapa waktu
belakangan kita melihat intelektual-intelektual termasuk 'ulamã Islam
Indonesia dimanfaatkan oknum tertentu pada keteguhan "idealitas"
pendapat mereka tentang “satu” orang yang sudah ditersangkakan ini.
Tidak jarang mereka yang sudah menjadi ulama jadi konsumsi “warungan’
bagi yang belum "menjadi” ‘ulamā (kembali pada diri pribadi). Jika kita
mau menyudahi mungkin inilah waktu yang tepat. Kita tidak harus
membiarkan tenaga ini terkuras habis lalu lemas tanpa balutan-balutan
sesuatu apapun yang disebabkan oleh satu permasalahan ini, kendatipun
masih tentu tidak hanya dalam masalah ini.
Sekarang kita sudahi
pada pembiaran informasi yang tidak bertanggung jawab. Namun tidak pada
pengambilan informasi. Entah itu datangnya dari media elektronik, cetak
atau yang lebih buram yakni informasi sosial media yang cenderung
dikemas negatif. Tetapi, setelah beberapa hari berlalu ini sedikit
banyaknya kita mulai tau bagaimana cara dalam mengambil sumber informasi
didunia digitalisasi. Walaupun belum menjadi ‘ulamā" setidaknya kita
ʿālim (tau) dalam literasi sosial media. Agar terhindar dari fitnah,
apalagi fitnah yang terkait dengan isu SARA (Suku, Ras, Agama dan Antar
Golongan) yang karena permasalahan ini syarat dengan konflik yang
konfrontal. Bertanyalah kepada yang lebih faham dan mengetahui
sebagaimana anjuran agama agar tidak tertipu oleh wajah cerah, mulus,
warna-warni "isi gadget" yang mengadu domba apalagi memfitnah tersebut.
Sebagai penganut yang sangat dianjurkan menghormati mereka (‘ulamā)
dari kalangan apapun mereka yang pasti jasa mereka banyak dirasakan oleh
bangsa ini. Jadi, kita yang belum "menjadi "Ulamā" harus kembali
memandang mereka lagi, terus lagi karena mereka adalah orang yang
memiliki wawasan yang luas, pengetahuan, penuh kearifan, keteladanan
yang telah melahirkan orang-orang baik dan benar dinegeri ini.
Dengan demikian tidak salah pilihan kiranya kita kembali berkhidmat
kepada mereka (ulama). Mempercayakan lagi tugas negara, mempercayakan
lagi tugas urusan luar dan dalam negeri, mempercayakan lagi tugas
keamanan, mempercayakan lagi tugas keumatan, mempercayakan lagi tugas
kenegaraan, mempercayakan lagi tugas kebangsaan dan mempercayakan kepada
mereka tugas, fungsi, peran serta wewenang sebagaimana amanat peraturan
perundang-undangan yang ada di negeri ini.
Jika kita mau
membaca lebih dalam sesungguhnya ‘ulamā adalah mereka semua yang
berprofesi apapun. Karena pengetahuan, kearifan, kebijaksanaan,
keputusan mereka dipilih untuk memikul tanggung jawab masyarakat
terlebih ‘ulamā yang sekaligus mengemban amanah rakyat Indonesia ini
(umara). Oleh karena itu, pantaslah mereka disebut ‘ulamā, karena
bagaimanapun ulamā berarti orang yang memiliki ilmu pengetahuan dalam
suatu hal termasuk pemerintah, cendikiawan, akademisi, dan profesi
apapun yang ia tahu sekaligus menguasai bidangnya masing-masing.
Dengan demikian, marilah kita harus kembali berkhidmat, mempercayakan
urusan umat, bangsa, negara ini kepada ‘ulamā dalam bidang apapun.
Termasuk pengertian ‘ulamā yang diartikan di Indonesia itu sendiri,
yakni diartikan sebagai seorang yang memiliki ilmu pengetahuan agama
Islam. (KBBI: 2008). Jika merujuk Eksiklopedia Islam (Dewan Redaksi
Eksiklopedia Islam:1993) ‘ulamā berarti orang yang tahu atau yang
memiliki pengetahuan ilmu agama dan pengetahuan kealaman yang dengan
pengetahuannya tersebut memiliki rasa takut kepada Allah SWT.